Penggabungan Pilkada Serentak Berisiko
JAKARTA - Penggabungan seluruh pemilu kepala daerah dalam satu waktu dianggap terlalu berisiko. Mekanisme itu akan membuat anggaran pilkada terkumpul dalam satu tahun anggaran yang akan membebani anggaran negara dan bisa memicu inflasi.
Demikian diutarakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam seminar ”Politik dan Ekonomi 2010” di Jakarta, Jumat (4/12). Dengan penggabungan itu, akan ada 524 pilkada, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi yang dilaksanakan secara bersamaan.
Sebagai gambaran, pilkada Jawa Timur lalu sebanyak dua putaran, ditambah pemungutan suara ulang di sejumlah tempat, menghabiskan dana Rp 800 miliar. Dana itu belum termasuk biaya politik yang dikeluarkan calon kepala daerah.
Penggabungan pilkada juga akan membuat repot Mahkamah Konstitusi (MK) yang menangani sengketa hasil pilkada. Saat ini MK hanya memiliki waktu 14 hari untuk menangani sengketa pilkada. Jika di setiap pilkada memiliki masalah, akan membuat menumpuknya perselisihan hasil pilkada di MK.
Oleh karena itu, kata Gamawan, Departemen Dalam Negeri cenderung mengelompokkan pilkada menjadi dua gelombang. Pada periode 2009-2014, pilkada sebaiknya dilakukan pada 2010 dan 2012 atau 2013.
Pemerintah pusat
Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies R Baswedan mengatakan, kekhawatiran menumpuknya biaya pilkada dalam satu tahun anggaran dan beban berat MK menunjukkan pengelolaan pilkada masih menggunakan perspektif pemerintah pusat. Bagi masyarakat setiap daerah, pilkada tetap satu kali dalam lima tahun. Bagi pemerintah pusat di Jakarta, pilkada seolah berlangsung setiap hari.
Pilkada adalah kesempatan untuk memunculkan isu lokal. Penggabungan pilkada justru akan menghilangkan isu lokal itu karena akan dikelola partai politik yang calonnya maju sebagai peserta pilkada dengan mengusung isu seragam yang bersifat nasional.
”Pilkada memang perlu ditata agar efisien. Tetapi, isu daerah tetap harus dominan dan biaya kampanye dibatasi agar pilkada tidak menjadi alat kekuatan kapital, tetapi menjadi transaksi ide dan gagasan membangun daerah,” katanya.
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, menambahkan, jika seluruh pilkada digabung, perspektif kerja MK maupun pemerintah pusat harus turut diubah. Setiap perubahan sistem harus diikuti perubahan konstruksi kerja, undang-undang (UU), maupun infrastruktur politik lainnya.
Proses penyebaran informasi konflik pilkada melalui media massa yang masih terpusat membuat masyarakat jengah dengan pemilu yang berulang-ulang, tetapi tetap tidak membawa perubahan bagi masyarakat. Kondisi ini akan membebani psikologis masyarakat yang akan membuat mereka semakin apatis dengan pemilu.
Pelaksanaan pemilu yang berulang-ulang menimbulkan pemborosan luar biasa pula. (mzw)
Source : Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009 | 04:06 WIB