KEPALA DAERAH
Parpol Harus Siapkan Calon yang Berkualitas
JAKARTA - Partai politik mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Untuk itu, dalam pemilu kepala daerah, parpol diharapkan menyaring calon-calon yang akan diajukan sebagai pemimpin daerah.
”Apabila banyak artis atau dinasti keluarga yang maju dalam pilkada (pemilu kepala daerah), itu kesalahan parpol yang terbentuk tanpa ideologi yang jelas. Akibatnya, demokrasi yang terbentuk adalah demokrasi prosedural, bukan substansinya,” kata Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Deddy Supriady Bratakusumah di Jakarta, Senin (19/4).
Deddy menanggapi munculnya fenomena politik dinasti dari kepala daerah yang berkuasa dan artis dalam pilkada tahun 2010 (Kompas, 19/4).
Sejumlah calon yang maju adalah istri atau anak kepala daerah petahana (incumbent). Terkait hal itu, Wakil Ketua Bidang Politik DPC PDI-P Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Dahono Marlianto dan Sekretaris DPC Sukoharjo Syarief Hidayatullah meluruskan tabel yang dimuat Kompas di halaman 1, kemarin. Dalam tabel disebutkan Titik Suprapti diusung PDI-P, Partai Golkar, dan PBB.
Menurut Dahono dan Syarief, DPC PDI-P Sukoharjo mencalonkan Wardoyo Wijaya dan Haryanto. Hal itu sesuai rekomendasi DPP PDI-P tanggal 21 Maret 2010 yang waktu itu ditandatangani Ketua DPP Puan Maharani dan Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Pramono Anung. ”Titik Suprapti diusung oleh Partai Golkar dan PBB,” kata Dahono dalam siaran persnya.
Sejumlah artis yang meramaikan pilkada, antara lain, adalah Julia Perez yang diusung sejumlah partai politik untuk maju dalam Pilkada Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Namun, Ketua DPP Partai Bulan Bintang Abdul Qadir Lamanele dan Sekjen DPP PBB Sahar L Hassan dalam siaran persnya menyatakan, partainya tidak pernah membicarakan, membahas, dan menetapkan dukungan kepada Julia Perez.
Membahayakan
Menurut Deddy, realitas banyaknya dinasti keluarga atau artis yang menjadi calon kepala daerah bisa membahayakan perkembangan demokrasi di Indonesia sehingga tak bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas. ”Ke depan bisa muncul demokrasi tranksaksional, tawar- menawar antara penguasa dan pengusaha, atau bisa disebut ijon politik, misalnya kepala daerah tidak punya uang untuk sewa kapal untuk kampanye, kemudian meminjam ke konglomerat. Ketika terpilih, kepala daerah harus membalas jasa konglomerat, bisa dengan memberi izin tambang atau membangun pusat perbelanjaan,” katanya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Dradjad H Wibowo mengatakan, PAN menetapkan tiga kriteria, yaitu integritas, kapasitas, dan elektabilitas, dalam menentukan calon kepala daerah.
PAN tidak mengutamakan popularitas dalam memilih calon kepala daerah. Popularitas dinilai tidak menjamin seseorang bisa terpilih dalam pilkada. ”Banyak artis yang tidak terpilih ketika ikut pilkada, begitu pula dalam pemilu legislatif,” katanya.
Dradjad juga mengatakan, dalam pemilihan kepala daerah, PAN menganut desentralisasi sehingga pemilihan calon bupati/wali kota ditetapkan oleh DPD provinsi, sedangkan calon gubernur ditetapkan oleh DPP.
Pengajar Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, Senin, menilai, praktik rezim keluarga dalam pilkada tidak jauh berbeda dengan praktik feodalisme pada masa lalu.
Kondisi itu, kata Andrinof, dikhawatirkan akan merusak sistem demokrasi. Pemilihan kepala daerah dengan calon dari orang-orang yang masih punya hubungan keluarga dengan pihak incumbent membuat aspirasi masyarakat menjadi semu.
Andrinof mengkritik Komisi Pemilihan Umum di pusat dan daerah yang seharusnya sadar bahwa tugas dan tanggung jawab mereka bukan sekadar mendidik masyarakat untuk asal tahu soal tata cara memilih dalam pemilihan langsung.
Karena itulah, praktisi hukum Bambang Widjojanto dalam dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Daerah mengatakan, masyarakat harus mewaspadai kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali. Alasannya, mereka memiliki potensi menyalahgunakan kewenangan dengan cara mengintervensi penyelenggara dan birokrasi, atau menggunakan anggaran daerah.
Bagi Akbar Faizal, Ketua Partai Hati Nurani Rakyat, partainya memang ingin menang dalam pilkada, tetapi tetap berdasarkan rasionalitas politik yang sehat. ”Misalnya, untuk pilkada di Pacitan, kami belum dan sepertinya tidak akan memutuskan mengusung artis Julia Perez. Bagi kami, Julia sudah cocok sebagai artis,” kata Akbar.
Menurut Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo, semua orang punya hak untuk mendaftar menjadi bakal calon kepala daerah. Namun, PDI-P memiliki mekanisme penjaringan calon, antara lain uji kelayakan dan kepatutan, komitmen ideologi, dan lewat survei. (NIK/SIE/NWO/DWA/NTA/Kompas) ***
john manasye @ Selasa, 20 April 2010 | 08:25 WIB
gimana bisa harapkan parpol klo parpol aja pake dinasti... yang jelas parpol kita justru menyuburkan praktek dinast
Source : Kompas, Selasa, 20 April 2010 | 03:51 WIB