CARI BERKAH KLIK DI SINI

3 Agustus 2010

Menapis Dua Wajah Pemekaran Kaltim

OTONOMI DAERAH KALIMANTAN TIMUR (6-HABIS)

Menapis Dua Wajah Pemekaran Kaltim

Oleh Yuliana Rini DY

Sembilan tahun sejak dicanangkan otonomi daerah pada Januari 2001 ternyata melahirkan dua wajah daerah pemekaran Kaltim, daerah berpotensi maju dan daerah berpotensi mundur. Daerah potensi maju ditunjukkan dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung positif, sedangkan daerah potensi mundur terlihat dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung negatif atau melambat.

Kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur menjadi contoh menarik bagi dua model daerah ini. Kabupaten Kutai, yang setelah mekar berubah nama menjadi Kutai Kartanegara, adalah daerah berpotensi mundur. Padahal, Kabupaten Kutai Kartanegara dan tiga daerah pemekarannya (Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kota Bontang) termasuk wilayah paling kaya di Indonesia.

Salah satu indikatornya, nilai kegiatan ekonomi keempat wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi keempat daerah ini sedemikian besar sehingga jika disatukan nilainya jadi Rp 205 triliun, atau 65 persen dari kegiatan perekonomian provinsi Kaltim atau 4,1 persen dari PDB nasional! Bandingkan itu dengan nilai kegiatan ekonomi Kabupaten Bulungan dengan empat daerah pemekarannya (Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan) hanya membukukan Rp 12 triliun, jauh di bawah nilai yang diperoleh wilayah Kutai dan pemekarannya.

Daerah berpotensi mundur

Sudah menjadi pengetahuan umum, wilayah Kutai dianugerahi berbagai sumber daya berlimpah, mulai dari kayu hutan, minyak dan gas, kelapa sawit, hingga—kini—batu bara. Sejak masa Orde Baru berkuasa, wilayah ini sudah menjadi lahan tambang uang bagi negara. Saat ini, dengan segala cerita kerusakan lingkungan dan penderitaan turunannya, konsesi pertambangan batu bara besar-kecil bertebaran di seantero wilayah Kutai. Namun, di tengah berkelimpahannya sumber daya itu, ada kecenderungan daerah ini justru memiliki potensi kemunduran dilihat dari indeks sosial ekonominya (lihat peta).

Tidak terlalu sulit bagi awam menemukan simptom persoalan wilayah ini. Dalam perjalanan sepanjang Bontang-Sangatta, di kiri kanan jalan hanya terhampar padang ilalang dan tegakan-tegakan pohon yang hangus terbakar. Memasuki Sangatta, ibu kota Kutai Timur, tim Kompas menemui suasana kota yang panas dan berdebu. Dari salah satu gardu pandang milik PT Kaltim Prima Coal (KPC), terlihat deru truk besar lalu lalang mengangkut batu bara. Demikian juga saat memasuki wilayah Taman Nasional Kutai, Kota Bontang, hamparan hutan dengan pohon-pohon besar selayaknya sebuah taman nasional tak ditemui.

Jajak pendapat yang dilakukan terhadap 365 responden di 14 kabupaten kota di Kaltim juga mengungkap kecenderungan ketidakpuasan responden yang berdomisili di Kutai Kartanegara dan Bontang dibandingkan mereka yang berwilayah di perkotaan lainnya. Program peningkatan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur memang baru dapat dirasakan oleh segelintir penduduk, terutama daerah perkotaan, seperti Samarinda, Balikpapan, Tarakan, dan Bontang. Pada jarak sekitar 65 kilometer dari Sangatta, di Desa Tepian Langsat dan Keraitan, sama sekali belum terjamah aliran listrik. Kalaupun ada listrik, itu adalah genset swadaya masyarakat. Demikian pula masalah pendidikan SDM yang menjadi momok karena banyaknya penduduk lokal yang belum dapat diserap oleh perusahaan perkebunan ataupun pertambangan.

Karakter industri pertambangan batu bara yang padat modal dan keahlian membuat kebanyakan pemuda lokal menjadi sekadar pekerja kasar, seperti sopir, operator, atau buruh. Sementara tenaga ahli ataupun tenaga administrasi kebanyakan didatangkan dari luar Kalimantan, terutama Jawa. Wilayah ini bukannya tak memerhatikan kemajuan wilayah. Di bawah kepemimpinan H Syaukani Hasan Rais, mantan bupati Kabupaten Kutai Kartanegara, pernah digelontorkan modal besar didukung program komprehensif berupa Gerakan Pengembangan dan Pemberdayaan Kutai (Gerbang Dayaku). Program ini terkenal dengan suntikan dana sebesar Rp 1 miliar-Rp 2 miliar ke setiap desa di Kutai Kartanegara.

Daerah berpotensi maju

Pemandangan terlihat berbeda ketika Kompas memasuki Kota Tarakan. Kota ini merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Bulungan yang kebetulan memang sudah menjadi wilayah otonom sejak tahun 1997. Penataan kota tampak rapi, bersih, ditambah taman kota yang dilengkapi fasilitas modern, seperti area bersinyal (hotspot), hutan kota sebagai tempat serapan air, dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai paru-paru kota yang bahkan dihuni oleh 20-an bekantan (sejenis kera besar).

Kenyamanan kota terasa hingga saat malam hari. Di provinsi yang masih mengalami defisit pasokan listrik ini, penerangan jalan Kota Tarakan sangat memadai. Setiap sudut kota ada terang benderang untuk menunjang kegiatan bisnis. Maklum, konon ini juga peninggalan Jusuf SK, mantan Wali Kota Tarakan periode 1998-2009 yang dijuluki ”Wagilam, Walikota Gila Lampu”.

Sulit disangkal, Kabupaten Bulungan merupakan contoh kabupaten induk dan wilayah pemekaran yang berpotensi maju. Sebagian wilayah belum lama mekar seperti Kabupaten Kabupaten Tana Tidung yang baru otonom tahun 2007. Hal ini diperkuat juga dengan gambaran pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia tahun 2002-2008 di mana pertumbuhan IPM Kabupaten Kutai Kartanegara (6,2 persen) masih kalah cepat dibanding Kabupaten Bulungan (6,9 persen). Dilihat dari nilai setiap wilayah, Bulungan mampu bergerak lebih cepat dibanding wilayah Kutai. Pertumbuhan IPM wilayah Bulungan yang meliputi Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan berkisar 5,1-12,8 persen. Sedangkan wilayah Kutai yang meliputi Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kota Bontang yang berkisar 4,8-7,1 persen.

Indikator lainnya yang bisa digunakan untuk melihat perbandingan kinerja aparat birokrasi daerah adalah perbedaan hasil opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap wilayah tersebut. Terhadap laporan APBD tahun 2008 Kabupaten Kutai Kartanegara, BPK tidak memberikan pendapat (TMP) atau dianggap disclaimer sebagaimana terhadap Kabupaten Kutai Timur. Adapun untuk Kabupaten Kutai Barat dinilai tidak wajar (TW) dan Kota Bontang dinilai wajar dengan pengecualian (WDP). Bandingkan penilaian ini dengan wilayah Bulungan. BPK memberikan penilaian wajar dengan pengecualian terhadap Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan. Sedangkan terhadap Kabupaten Bulungan dan Malinau dinilai tidak wajar APBD tahun 2008.

Penilaian itu berdasarkan tiga hal, yaitu kelemahan sistem pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan nilai penyerahan aset. Aspek sistem pengendalian internal terbagi menjadi akuntansi dan pelaporan, pelaksanaan APBD, dan kelemahan struktur pengendalian internal. Kasus terbanyak terjadi di Kabupaten Kutai Timur (15 kasus), Kutai Barat (9 kasus), dan Kutai Kartanegara (8 kasus).

Wilayah Bulungan sebagian besar merupakan daerah pedalaman dengan batas garis perbatasan dengan negara Malaysia. Karena infrastruktur lebih bagus di Malaysia, penduduk setempat lebih sering berkunjung ke ”seberang”. Bahkan, penduduk di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, lebih banyak bertransaksi dengan mata uang ringgit. Karena merasa kurang diperhatikan, konon menjadi pemicu munculnya keinginan pembentukan provinsi baru, Kalimantan Utara.

Pendidikan diutamakan

Di sisi lain, pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan tampaknya diutamakan oleh wilayah Bulungan. Contohnya terlihat di Kota Tarakan, di mana pembangunan sebuah sekolah bisa menelan dana Rp 20 miliar. Eloknya, semua bangunan sekolah dirancang nyaman dan modern berkonstruksi dua lantai.

Otonomi daerah adalah suatu proses pembelajaran yang terus-menerus bagi seluruh pemangku kepentingan di Kaltim. (Litbang Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 2 Agustus 2010 | 02:46 WIB

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template