CARI BERKAH KLIK DI SINI

7 Desember 2009

Penggabungan pilkada juga akan membuat repot Mahkamah Konstitusi (MK)

Penggabungan Pilkada Serentak Berisiko

JAKARTA - Penggabungan seluruh pemilu kepala daerah dalam satu waktu dianggap terlalu berisiko. Mekanisme itu akan membuat anggaran pilkada terkumpul dalam satu tahun anggaran yang akan membebani anggaran negara dan bisa memicu inflasi.

Demikian diutarakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam seminar ”Politik dan Ekonomi 2010” di Jakarta, Jumat (4/12). Dengan penggabungan itu, akan ada 524 pilkada, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi yang dilaksanakan secara bersamaan.

Sebagai gambaran, pilkada Jawa Timur lalu sebanyak dua putaran, ditambah pemungutan suara ulang di sejumlah tempat, menghabiskan dana Rp 800 miliar. Dana itu belum termasuk biaya politik yang dikeluarkan calon kepala daerah.

Penggabungan pilkada juga akan membuat repot Mahkamah Konstitusi (MK) yang menangani sengketa hasil pilkada. Saat ini MK hanya memiliki waktu 14 hari untuk menangani sengketa pilkada. Jika di setiap pilkada memiliki masalah, akan membuat menumpuknya perselisihan hasil pilkada di MK.

Oleh karena itu, kata Gamawan, Departemen Dalam Negeri cenderung mengelompokkan pilkada menjadi dua gelombang. Pada periode 2009-2014, pilkada sebaiknya dilakukan pada 2010 dan 2012 atau 2013.

Pemerintah pusat

Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies R Baswedan mengatakan, kekhawatiran menumpuknya biaya pilkada dalam satu tahun anggaran dan beban berat MK menunjukkan pengelolaan pilkada masih menggunakan perspektif pemerintah pusat. Bagi masyarakat setiap daerah, pilkada tetap satu kali dalam lima tahun. Bagi pemerintah pusat di Jakarta, pilkada seolah berlangsung setiap hari.

Pilkada adalah kesempatan untuk memunculkan isu lokal. Penggabungan pilkada justru akan menghilangkan isu lokal itu karena akan dikelola partai politik yang calonnya maju sebagai peserta pilkada dengan mengusung isu seragam yang bersifat nasional.

”Pilkada memang perlu ditata agar efisien. Tetapi, isu daerah tetap harus dominan dan biaya kampanye dibatasi agar pilkada tidak menjadi alat kekuatan kapital, tetapi menjadi transaksi ide dan gagasan membangun daerah,” katanya.

Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, menambahkan, jika seluruh pilkada digabung, perspektif kerja MK maupun pemerintah pusat harus turut diubah. Setiap perubahan sistem harus diikuti perubahan konstruksi kerja, undang-undang (UU), maupun infrastruktur politik lainnya.

Proses penyebaran informasi konflik pilkada melalui media massa yang masih terpusat membuat masyarakat jengah dengan pemilu yang berulang-ulang, tetapi tetap tidak membawa perubahan bagi masyarakat. Kondisi ini akan membebani psikologis masyarakat yang akan membuat mereka semakin apatis dengan pemilu.

Pelaksanaan pemilu yang berulang-ulang menimbulkan pemborosan luar biasa pula. (mzw)

Source : Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009 | 04:06 WIB

Pembentukan Panwas Pilkada cukup dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Fatwa MA Dapat Jadi Rujukan
JAKARTA - Bagi daerah yang waktu pelaksanaan pemilu kepala daerahnya sudah dekat dan tidak memungkinkan melaksanakan seleksi Panitia Pengawas Pemilu Kepala Daerah, Panwas Pilkada-nya dapat dibentuk dengan menggunakan fatwa Mahkamah Agung.
Artinya, proses pembentukan Panwas Pilkada cukup dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hal itu diungkapkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta, Jumat (4/12). ”Fatwa MA itu bersifat final dan sudah bisa dipakai sebagai rujukan,” katanya.
Sebaliknya, daerah yang memiliki waktu persiapan pilkada cukup, khususnya yang pemungutan suaranya dilakukan pada paruh kedua 2010, pembentukan Panwas Pilkada dapat tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Melalui mekanisme ini, calon anggota Panwas diseleksi secara administrasi oleh KPU setempat dan selanjutnya diuji kelayakan dan kepatutannya oleh Badan Pengawas Pemilu.
Fatwa MA tentang pembentukan Panwas Pilkada oleh DPRD itu berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Fatwa itu sempat diprotes sejumlah pihak karena membuat semakin runyamnya aturan pilkada.
Pembentukan Panwas Pilkada oleh DPRD dikhawatirkan akan membuat independensi Panwas terganggu karena partai politik di DPRD merupakan pendukung peserta pilkada.
Di sisi lain, Bawaslu sudah berencana melantik Panwas Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden lalu langsung menjadi Panwas Pilkada khusus untuk Panwas yang daerahnya akan menyelenggarakan pilkada 2010 demi alasan efisiensi. Pelantikan direncanakan antara 11-13 Desember. (Kompas, 4/12)
Terkait rencana Bawaslu itu, Gamawan mengatakan akan membicarakan persoalan tersebut dengan Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum.
Hal serupa akan dilakukan jika penggunaan fatwa MA yang dinilai bisa mengurangi independensi Panwas Pilkada itu mendapat reaksi berbeda dari masyarakat di daerah.
”KPU sekarang memiliki hubungan hierarkis, tidak seperti dulu yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga bila ada sesuatu mudah koordinasinya,” katanya.
Bisa ilegal
Secara terpisah, mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004, Topo Santoso, menilai kegigihan Bawaslu untuk tetap melantik Panwas Pileg dan Pilpres menjadi Panwas Pilkada disebabkan sudah adanya komitmen antara Bawaslu dan Panwas Pileg dan Pilpres.
Bawaslu juga ingin agar pengawasan tahapan pilkada dapat dilakukan sejak awal, tidak terlambat hanya gara-gara Panwas Pilkada-nya belum terbentuk.
”Tapi, risiko hukum atas tindakan Bawaslu itu tinggi. Bisa jadi, Panwas Pilkada bentukan Bawaslu dianggap ilegal. Bawaslu sebaiknya tidak perlu ngotot. Sebaliknya, KPU mesti mendengarkan Bawaslu bagaimana cara terbaik dan efisien dalam pengawasan pilkada,” katanya.
Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow berharap Bawaslu tidak menyikapi persoalan pelantikan Panwas Pilkada secara arogan.
Jika Bawaslu tetap melantik Panwas Pilkada, yang dibuat bingung adalah penyelenggara pemilu dan masyarakat di daerah. Kondisi itu bisa memicu terjadinya konflik horizontal antarmasyarakat. (MZW)
Source : Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009 | 04:06 WIB

Kenaikan Tarif PDAM Ditolak SEMAR Indramayu



Mahasiswa Indramayu Protes Kenaikan Tarif PDAM


INDRAMAYU -- Kenaikan tarif air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Indramayu, Jabar terus menuai protes. Kali ini, protes disampaikan puluhan mahasiswa yang menamakan diri Serikat Mahasiswa dan Rakyat Indramayu (Semar Indramayu), Senin (7/12), sekitar pukul 11.00 WIB.



Protes tersebut dilakukan dalam aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Kabupaten Indramayu. Mahasiswa yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi di Kabupaten Indramayu itu meminta agar tarif air PDAM yang terlanjur naik, kembali diturunkan.


''Kenaikan tarif air sangat memberatkan rakyat,'' tandas seorang korlap, Syaiful. Dia menjelaskan, kenaikan tersebut telah terjadi sejak Oktober 2009. Dia mengatakan, kenaikan yang mencapai 92 persen itu dilakukan sekaligus dalam satu waktu.


Padahal, lanjut Syaiful, pelayanan PDAM selama ini sangat tidak memuaskan. Pasalnya, selama musim kemarau, air tidak selalu mengalir di rumah pelanggan di sejumlah daerah. Dia menyebutkan, daerah itu di antaranya Kecamatan Krangkeng dan Karangampel.



''Di dua kecamatan itu, air cuma mengalir di malam hari,'' tandas Syaiful. Tak hanya itu, lanjutnya, PDAM pun selalu memberikan denda pada pelanggan yang terlambat membayar rekening air. Padahal, PDAM merupakan perusahaan daerah yang selalu mendapat subsidi.



Ketua DPRD Indramayu, Abdul Rozaq Muslim, mengaku, kenaikan tersebut sebelumnya telah mendapat persetujuan dewan. Hal itu didasarkan pada hasil kajian dan adanya peraturan penghapusan hutang PDAM yang dikeluarkan Depdagri. Sehubungan penolakan tersebut, DPRD berjanji untuk meninjau nkembali. (lis/rif)***


Sumber: By Republika Newsroom, Senin, 07 Desember 2009 pukul 14:21:00





SEMAR Indramayu Berunjuk Rasa Tolak Kenaikan Tarif PDAM Indramayu


UNJUK RASA
SEMAR Indramayu Tolak Kenaikan Tarif PDAM
INDRAMAYU – Beberapa elemen mahasiswa Indramayu melancarkan aksi unjuk rasa menolak kenaikan tarif air minum yang dipatok Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) “Tirta Darma Ayu” Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Senin (7/12) siang. Aksi demo yang melibatkan sekitar seratusan mahasiswa tersebut melancarkan aksinya sambil beramai-ramai jalan kaki menuju Pendopo Bupati Indramayu dan Gedung DPRD Indramayu.
Mereka membentangkan spanduk “Penolakan Tarif PDAM dan Permintaan Pencabutan Peraturan Bupati Indramayu” yang berkaitan kenaikan tarif air bersih kepada para pelanggan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tersebut. Sejumlah aparat kepolisian dari Polres Indramayu terlihat mengiring perjalanan aksi demo penolakan kenaikan tarif PDAM itu.
Sejumlah elemen mahasiswa yang melancarkan aksi unjuk rasa itu mengatasnamakan SEMAR Indramayu (Serikat Mahasiswa dan Rakyat Indramayu), mereka merupakan gabungan dari BEM AMIK PN , BEM Unwir, KAMMI Indramayu, DPC GMMI Indramayu, dan FRMD (Forum Rempug Muda Dermayu). Dalam aksinya, merekas mengancam akan melakukan “pemboikotan” terhadap PDAM Indramayu dengan cara tidak membayar tarif PDAM secara berkelanjutan sebagai bentuk protes apabila tuntutan mereka tidak dikabulkan.
Lima pernyataan sikap dari SEMAR Indramayu itu, diantaranya : 1. Tolak kenaikan tarif PDAM Indramayu, 2. Transparansi dana perawatan, 3. Cabut Perbup Nomor 44 Tahun 2009, 4. Cabut Perda Nomor 16 Tahun 2009, 5. Perbaiki layanan PDAM. (Satim)*** Foto-Foto : Satim
 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template