CARI BERKAH KLIK DI SINI

24 November 2010

PERINGATAN PERISTIWA “KUJANG” INDRAMAYU

TASRIPIN (RIPIN), Ketua LVRI Ranting Sindang, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. (Satim)*** Foto-foto : Satim

PERINGATAN PERISTIWA “KUJANG” INDRAMAYU

Tasripin Tokoh Pejuang di Kampung Kujang

INDRAMAYU, Pendopo IndramayuPeristiwa peperangan melawan penjajah Belanda pada awal Agustus 1947 di Kampung Kujang Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat tampaknya tak mudah dilupakan oleh para pelaku sejarah, saksi ketika peristiwa berdarah itu yang hingga kini masih hidup, serta para pejuang kemerdekaan yang sekarang masuk dalam keanggotaan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang setiap bulannya memperoleh dana kehormatan dari pemerintah, maupun para pejuang yang hingga kini tengah memperjuangkan nasibnya melalui pengurus LVRI setempat agar turut memperoleh dana kehormatan sebagai veteran pejuang kemerdekaan.

Tampaknya, pertumpahan darah para pejuang Indramayu yang tergabung “Pasukan Setan” berlambang tengkorak pimpinan M.A. Sentot ketika itu, tak akan mudah dilupakan orang termasuk anak cucunya hingga kini. Keganasan Belanda yang menggempur pasukan pejuang Indramayu dengan bom dan serangan artileri darat, telah menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Mayat-mayat pejuang Kota Mangga bergelimpangan di jalan dan parit-parit serta pekarangan warga Kampung Kujang.

“Jika teringat peristiwa itu, saya sampai menangis. Betapa tidak, saya sendiri nyaris dibunuh serdadu Belanda ketika melakukan perlawanan dari Bangkir hingga Kampung Kujang. Saya berlindung di hutan Blok Waledan bersama sejumlah pejuang lainnya. Saya lolos dari maut, karena sempat menyamar menjadi tukang anco (mencari ikan dengan jaring yang dipandu dengan bambu),” kenang Tasripin, Ketua LVRI Ranting Sindang saat ditemuai di rumahnya di Kampung Kujang Desa Lamaran Tarung, Senin (22/11) sore.

Kebetulan hari Senin itu, merupakan sehari seusai Tasripin memimpin peringatan “Kujang” di tugu monumen Kujang yang berada di Kampung Kujang, sekitar 800 meter dari kediamannya. Meski hanya dihadiri oleh puluhan anggota Veteran saja, namun Tasripin merasa bersyukur, konon, karena para mantan pejuang kemerdekaan masih pada datang dan berdoa untuk para pejuang yang telah gugur mendahuluinya.

Menurut Sirnata, Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) Ranting Cantigi, keberadaan Tasripin atau yang akrab disapa Ripin itu, hingga kini masih termasuk tokoh pejuang yang dituakan di kampungnya. Meski usianya sudah lanjut, namun masih terlihat keperkasaan dengan logat meledak-ledak, konon, masih terbawa arus perjuangan masa lalu.

“Meski kadang sekujur tubuhku ini terasa ngilu dan sakit diduga karena faktor usia, tapi saya masih tetap bersemangat untuk berdialog dengan siapa saja mengenai kisah perjuangan masa lalu di Kampung Kujang ini,” ujar pria yang mengaku dilahirkan pada 1930 itu. (Satim)*** Foto-foto : Satim


Wakil Katua Gapensi Indramayu Diduga Kena Santet

IVAN ALVIAN, Wakil Ketua BPC Gapensi Kabupaten Indramayu tergolek sakit, Selasa (23/11). Ia menduga terkena santet. (Foto-foto : Satim)***

Wakil Katua Gapensi Indramayu

Diduga Kena Santet

INDRAMAYU, Pendopo Indramayu Hingga hari ini, Rabu (24/11), Wakil Ketua Badan Pimpinan Cabang Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (BPC Gapensi) Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Ivan Alvian (47), masih terbaring lemah dengan penyakitnya yang “menghantam” kedua bibirnya hingga bengkak-bengkak, bahkan suaranya pun nyaris hilang tanpa diketahui penyebabnya.

Ivan sendiri sempat bingung, ada apa dengan penyakitnya itu ? Dalam rabaan dirinya, ia mengaku diduga terkena santet dari pihak-pihak yang ditengarai tidak menghendaki dirinya untuk bersuara lantang dan keras, mengkritisi proyek Pemilihan Langsung (Pilsung) Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun 2010 pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Indramayu yang diduga bermasalah dalam teknis maupun mekanisme proses Pilsung terhadap beberapa pihak.

Ivan jatuh sakit sehari setelah komentar dirinya mengenai Proyek Pilsung di Dinas Pertanian setempat dimuat di sebuah harian nasional. Komentarnya itu sempat membuat geger berbagai kalangan di Indramayu. Bahkan sejak Senin (22/11), kantor Dinas Pertanian Kota Mangga itu banyak didatangi berbagai kalangan untuk menanyakan seputar proyek Pilsung yang diduga memicu gegernya dana DAK senilai sekitar Rp 4 miliar itu.

“Seusai berkomentar agak keras di koran harian nasional yang dimuat Senin (22/11), esoknya saya seperti ini. Kedua bibirku membengkak dan suaranya nyaris hilang. Ini benar-benar aneh. Saya menduga terkena santet. Namun saya tak mau diam dalam mengkritisi proyek-proyek DAK di Dinas Pertanian maupun dinas-dinas lainnya. Tujuan saya ingin memertanyakan dan luruskan agar tidak muncul gejolak dan kasus. Itu saja,” kata Ivan yang ditemuai Pendopo Indramayu di tempat tinggalnya, Selasa (23/11) sore.

Meski sebuah risiko harus diterima Ivan, terutama penyakit mendadak yang tidak diketahui penyebabnya itu, namun Ivan tetap pada pendiriannya untuk mengkritisi Dinas Pertanian Indramayu, serta tetap melakukan pemantauan dalam prakteknya seperti apa. Karena, konon, runyamnya proyek Pilsung DAK tersebut diduga melibatkan pihak luar yang bukan institusi pemerintah dalam menentukan perusahaan siapa saja yang memperolehnya. Bahkan Ivan mencium, diduga atas “tekanan” dari pihak-pihak tertentu dalam menggolkan 52 paket Pilsung DAK dari anggaran sekitar Rp 4 miliar itu.

“Saya tetap menerima risiko apa pun akibat mengkritis proyek DAK yang di-Pilsungkan itu. Termasuk penyakit saya ini yang diduga terkena santet, sehingga saya agak kesulitan untuk berbicara keras,” ujar pria yang bertubuh tambun tersebut.

Sayangnya, hingga Selasa (23/11) kemarin, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Inadramayu, Toto K tidak ada di kantornya. Pendopo Indramayu hanya menulis dalam buku tamu untuk mengkonfirmasikan persolan proyek DAK yang di-Pilsungkan itu. “Bapak Toto sedang ada kegiatan luar,” kata salah seorang stafnya.

Sementara Anang, salah seorang Kepala Seksi di Dinas pertanian yang disebut-sebut orang yang diberikan kewenangan dalam pengedrapan sejumlah pihak yang berhak memperoleh proyek Pilsung DAK Pertanian tersebut, tidak mau berkomentar kepada wartawan.

“Yang lebih berwenang Bapak Kepala Dinas Pertanian. Saya sih apa kata Beliau (Toto-Red) saja, karena saya pegawai bawahan,” tuturnya. (Satim)*** Foto-Foto : Satim

18 November 2010

Kader Muda Minta agar Patuhi Keputusan DPP

Terkait Musdalub PG Jabar

Kader Muda Minta agar Patuhi Keputusan DPP

BANDUNG, Pendopo Indramayu - Kader muda Partai Golkar Jabar meminta agar semua pihak mematuhi keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang memutuskan adanya musyawarah daerah luar biasa (Musdalub). Selama Surat Keputusan DPP Partai Golkar No. KEP-84/DPP/GOLKAR/VIII/2010 dan Surat DPP Partai Golkar Nomor : B-734/GOLKAR/X/2010 belum dicabut secara tertulis, maka kedua keputusan tersebut tetap berlaku.

“Kami merasa prihatin dengan munculnya polemik di tubuh Partai Golkar seputar Musdalub. Seharusnya semua pihak mengacu kepada aturan yang berlaku yakni surat keputusan DPP Partai Golkar,” kata Ketua Bidang Hukum dan HAM DPD AMPI Jabar, Abidin, S.H., M.H, dalam rilisnya, Senin (15/11).

Lebih jauh Abidin mengatakan, SK DPP Partai Golkar No. KEP-84/DPP/GOLKAR/VIII/2010 tanggal 20 Agustus 2010 berisi pemberhentikan Dr. H. Irianto MS Syafiudin (Yance) sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jabar periode 2010-2015. “Dalam SK itu juga ditegaskan agar segera dilaksanakan Musdalub Partai Golkar,” katanya.

Sedangkan SK No. B-734/GOLKAR/X/2010 tanggal 11 Oktober 2010 menyatakan secara tegas H. Irianto MS Syafiudin sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2010-2015 tetap dinyatakan telah melakukan pelanggaran organisasi. “SK itu juga menegaskan tidak ada rehabilitasi untuk Pak Yance,” katanya.

Menurut Abidin, sebagai kader Partai Golkar harus senantiasa tunduk dan taat terhadap segala ketentuan dan aturan organisasi. “Supaya tidak terjadi kesimpangsiuran dan multitafsir terhadap perkembangan yang terjadi sekarang ini di kalangan kader partai, maka segala keputusan maupun kebijakan harus dikembalikan kepada aturan dan ketentuan yang berlaku,” katanya.

Apabila polemik itu tetap berlanjut, kata Abidin, hanya menimbulkan kebingungan dan keresahan di kalangan kader. “Pada akhirnya akan berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada Partai Golkar dan berakibat pada tingkat keberhasilan Partai Golkar dalam Pemilihan Umum mendatang,” katanya. (A-71/das)***

Source : Pikiran Rakyat Online, Selasa, 16/11/2010 - 04:22

15 November 2010

Indramayu & “Provinsi” Cirebon

Indramayu & “Provinsi” Cirebon

Oleh Yon A Udiono

Indramayu salah satu kabupaten yang – kalau begini terus – sah merasa selamanya bakal tersabot dari bandwidth politik pembangunan Provinsi Jabar yang tersentralisasi.

Tak terkovernya Indramayu secara proporsional dari kapasitas transmisi “sambungan” dalam jaringan pemerataan kue pembangunan memunculkan respon negatif dari tokoh-tokoh di sana. Elite Indramayu turut “berkomplot” bersama elite daerah lain – yang senasib sepenanggungan – seperti Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Kuningan, dalam menggulirkan rencana pembentukan Provinsi Cirebon.

Seperti ketika sejumlah eksponen lokal se-wilayah III Cirebon saling connect memfasilitasinya, dan para tokoh masyarakat kawasan Ciayumajakuning mendeklarasikan pembentukan Provinsi Cirebon.

Di antaranya Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat, plus kerabat kesultanan dari Keraton Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan; Rokhmin Dahuri selaku Ketua Paguyuban Sedulur Cirebon, ulama PBNU Jafar Sayid Aqil Siroj, serta sejumlah tokoh pesantren di Wilayah III Cirebon.

Pepesan Kosong

Provinsi Jabar tak sekadar seluas bumi yang sudah terpatok dengan sumpek oleh dinding tempurung geografi Kota Bandung yang umpel-umpelan. Dus, masih banyak titik dan sudut di dalamnya dan di ujung-ujung “teritorialnya” yang lebih senonoh menjadi ajang menaruh cipratan-cipratan kue pembangunan.

Tapi kenapa tiap saat ibukota Jawa Barat tak berminat memberlakukan aturan ketat membangun gedung-gedung dan pusat-pusat pelayanan bertingkat ? Yang dibutuhkan oleh ibukota malah semacam “landasan pacu” untuk menampung pesawat berupa gedung-gedung yang makin rimbun dan jumlahnya makin tak terhitung? Bangunan-bangunan kampus yang tak pernah mengenal surplus? Bisnis properti yang uncensored: dengan bangunan vertikal yang saling berpacu dalam melodinya sendiri yang tribal?

Tata ruang Kota Bandung menjadi sok sebidang “filosofi” – itu jika kita bebas memahami pengertian Mohammad Hatta – tempat segenap stakeholder-nya berhak “berpikir merdeka dengan tiada dibatasi kelanjutannya”.

Hingga apa boleh buat. Dengan itu Kota Bandung makin menjadi polutif saja dan tampak berjelaga. Keberadaan lalu-lintas kendaraan bermotor di jalan-jalan raya yang overdosis – dipicu oleh gelombang urbanisasi dari pelbagai sudut – adalah salah satu mesin gara-garanya. Ditingkahi mismanajemen pengelolaan sampah (sampah itu soal peradaban, Tuan ...) oleh satuan kotapraja di dalamnya.

Keberadaan gedung-gedung dalam sebuah kota adalah eksistensi sejarah politik yang sebenarnya juga sejarah keserakahan dan perebutan (pleonoxia). Kota Bandung yang “kapal-keruk” itu menjadi kontestasi tentang – sesungguhnya – orkestrasi ketidak-adilan atas kepentingan dan hak konstitusional daerah. Kota itu jari yang menunjuk ke arah luar bahwa yang jauh letak peta geografinya darinya, seperti Indramayu, tak lain sebungkus “pepesan kosong” pemenuhan hak-hak rakyat.

Padahal jika mengikuti normatifnya daerahlah yang didorong mengeksekusi sendiri dalam pemenuhan hak-hak rakyat.

Mengupas Kulit Bawang

Andai di Kota Bandung pembangunan properti-properti baru di-turn off, pemprov bakal memergoki isyarat solusi jangka panjang masalah-masalah sosial dan psikis berupa relasi-relasi sosial, terutama di jalanan dan area-area publik, yang makin krodit.

Persoalan seperti kemacetan lalu-lintas yang sejauh ini menekan urat saraf kota terjawab seumpama ia bersedia mengukur keterbatasan tata ruangnya atau kapasitasnya.

Dengan mengukur diri sebagai geometri yang daif, Kota Bandung memiliki nyali untuk melakukan tindakan “memutar ke arah kiri keran” modernisme: berpuasa atau membentengi diri dari maraton pembangunan gedung-gedung kampus baru juga hotel-hotel, mal-mal atau pusat-pusat perbelanjaan. Pokoknya stop menginjeksi properti apapun ke dalamnya yang eksesif. Stop bisnis properti yang sepak terjangnya seperti “mengupas kulit bawang” yang kita tak tahu kapan bisa benar-benar final.

Akan halnya persoalan daerah. Akan accomplished jika kue pembangunan itu dibikin tersebar dalam tiap ruang kehidupan.

Di Indonesia ada beberapa (tak semuanya) praktik pemekaran wilayah benar-benar visioner. Ada ibukota provinsi atau kabupaten dan kota melakukan relokasi sebagian pusat pengendalian pemerintahan dan ekonominya hingga berkahnya tak saja membuat ibukota merasa jadi plong. Tapi tak kalah wigati juga mengirigasikan kesejahteraan sosial dan ekonomi ke daerah-daerah pinggiran.

Konsideran

Ke dalam konteks itulah asprak yang dilontarkan “Jabar-1”, Ahmad Heryawan, usai meresmikan bangunan baru Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Sumber, Kabupaten Cirebon, waktu lalu sah kita maknai. Janji untuk mulai bersedia “mandi kembang” memperhatikan. Kita dengar salah satunya dengan mendirikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Cirebon.

So pasti akan kepergok dengan masalah minimnya SDM yang tercadang di daerah. Tetapi kondisi paceklik SDM bukan alasan untuk gentar atau ngeles sampai mati. Kalau mau selalu saja ada penyiasatan.

Mungkin mulanya dengan memberi kesempatan tenaga-tenaga dosen muda dari wilayah III Cirebon: termasuk Kabupaten Indramayu. Seumpama dengan menyediakan kebutuhan beasiswanya untuk memperoleh pendidikan lanjutan di perguruan-perguruan tinggi di Bandung lebih dulu. Tapi kemudian kalau sudah lulus harus balik ke asal geografinya untuk mengajar pemuda-pemuda daerah.

Habitus tempat dosen-dosen mengajar di daerah asalnya itulah “ibunda kita”. Kata ini saya pungut dari Jakob Sumardjo meskipun sang budayawan itu tentu tak sedang bicara Ciayumajakuning.

Pemenuhan politik pemerataan dan rasa keadilan itulah hakikat munajat masyarakat. Adapun resonan pembentukan Provinsi Cirebon mungkin saja belum cukup konsideran sosiologis untuk bisa kita angkat-rumuskan sebagai cantolan.

Mudah-mudahan hitung-hitungan saya itu keliru. Tapi di hadapan priayi Cirebon kelak, sudah saya siapkan sejak hari ini kata, “Ooops ...”

Yon A Udiono,

Litbang Lembaga Studi Sosial Normatif (Lesson). Berkiprah di Jogja.

Sanca, Desa Gulita Era Modern

INFRASTRUKTUR

Sanca, Desa Gulita Era Modern

Perjalanan ke rumah Musta (70) di Kampung Tegal Sapi, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, dalam 700 meter terakhir harus dilalui dengan berjalan bertelanjang kaki. Apa mau dikata, jalan tanah itu penuh lumpur setelah diguyur hujan. Sewaktu-waktu bisa saja terpeleset karena tiada lampu penerangan. Maklum, Sanca termasuk desa yang belum teraliri listrik Perusahaan Listrik Negara.

Sebelum tiba di rumah Musta, di kanan-kiri jalan terlihat beberapa rumah yang gelap gulita. ”Saya layak bersyukur karena sudah ada lampu menyala di rumah ini, daripada rumah- rumah lain yang tetap tanpa penerangan,” ujar Musta, awal pekan lalu di teras rumahnya.

Sambil menghirup rokok hasil lintingan sendiri, ia mengisahkan, instalasi penerangan di rumahnya terpasang sejak Lebaran, pekan kedua September lalu. Ia yang sehari-hari bertani dan berladang harus membayar Rp 350.000 untuk menebus jaringan itu. ”Yang Rp 250.000 dibayar sebelum Lebaran. Rp 100.000 sisanya setelah Lebaran, itu setelah berkali-kali ditagih karena terlambat membayar. Bagaimana lagi, sedang susah cari uang,” tutur Musta, yang malam itu didampingi istrinya, Casina (60).

Listrik di rumah Musta adalah listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sebagai listrik yang bukan dari PLN, dayanya terbatas. Namanya juga PLTS, kekuatannya bergantung pada sinar matahari. Ketika Indramayu sering mendung dan hujan seperti akhir-akhir ini, daya yang tertampung hanya sedikit.

Tak mengherankan jika di rumah Musta hanya ada dua lampu yang bisa menyala sampai pagi. Itu sudah maksimal. Pernah suatu malam, saat Andi, menantunya, datang dari Jakarta, Musta menyalakan tiga lampu. Malang tak kuasa ditolak, semua lampu itu padam total sejak pukul 03.00, dan tak hidup lagi hingga matahari muncul di ufuk timur.

”Memang hanya kuat untuk dua lampu. Ditambah satu saja, pukul tiga sudah mati. Makanya saya tidak pernah berpikir menyalakan televisi, bahkan radio sekali pun. Kalau siang hari ada yang numpang nge-charge handphone, lebih tidak kuat lagi. Dua lampu sampai pagi, sudah untung,” tutur Musta.

Pasangan Musta-Casina beruntung karena di Kampung Tegal Sapi belum semua warga menikmati listrik PLTS, apalagi PLN. Dari 300 rumah di kampung itu, baru 90 rumah yang berlistrik, semuanya dari PLTS. Data yang dihimpun menyebutkan, untuk membayar Rp 350.000 guna pemasangan jaringan, sebagian warga rela menjual kambing dan ayam peliharaan.

Adapun untuk Desa Sanca, sesuai dengan penjelasan Kepala Desa Sanca, Mulus (63), dari 2.500 rumah warga, baru 120 di antaranya yang sudah menikmati listrik tenaga surya. ”Bukan hanya rumah-rumah di seputar hutan yang belum ada lampunya. Rumah di dekat pusat Desa Sanca juga masih banyak yang gelap,” kata Mulus, Senin (25/10).

Tempat ”nongkrong”

Rumah-rumah di Desa Sanca, seperti halnya rumah Musta dan Casina, mayoritas berdinding bambu dan beralas tanah. Di teras rumah Musta yang dikitari sawah dan tegalan, tersedia dua balai-balai untuk menerima tamu. Di teras itu pula, ada seember air bersih yang bisa dipakai untuk mencuci kaki, bila ada yang kena becek dalam perjalanan ke rumahnya. Satu-satunya ruang di rumahnya sangat multifungsi karena menjadi kamar tidur, ruang keluarga sekaligus dapur, juga beralas tanah.

Sebagai salah satu yang berlampu, wajar jika rumah Musta kerap menjadi tempat nongkrong warga di malam hari. Terlebih, Casina sering menyediakan pisang goreng sebagai kudapan para tamu. Sejumlah anak di kampung itu, salah satunya Otong, anak Ma’an, tetangga Musta, juga sering singgah dan bermain di situ. ”Anak-anak senang karena di sini ada lampu. Kalau di rumah mereka, gelap,” tambah Casina.

Suasana Kampung Tegal Sapi di Desa Sanca adalah ironi modernisasi Indonesia, yang sudah menjadikan jaringan listrik sebagai komponen penting kehidupan. Posisi Indramayu di Provinsi Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, pusat pemerintahan, tak membuat Indramayu tercukupi kebutuhan listriknya.

Lebih celaka lagi, Kampung Tegal Sapi yang mengandalkan PLTS, tak begitu jauh dari desa sebelahnya, Lajem, yang sudah berjaringan listrik PLN. Saat mudik Lebaran lalu, disiagakan pos polisi di Lajem. Ketika pekan lalu Kompas melintasi jalan desa Lajem, yang menjadi jalur alternatif mudik Idul Fitri 2010, pos polisi tersebut masih tegak berdiri, lengkap dengan lampu listrik PLN-nya.

Rasio rendah

Berdasarkan pendataan Februari 2010, ada 34.600 rumah tangga di 187 desa di Indramayu yang belum menikmati listrik. Jumlah itu mencapai separuh lebih dari total 315 desa di Indramayu, yang tersebar mulai dari perbatasan Subang, Sumedang, Majalengka, hingga Cirebon. Dari data itu, setidaknya ada sekitar 35.000 rumah di Indramayu belum diterangi listrik.

Meskipun listrik PLN sudah ada di hampir di semua desa, itu tak menjamin semua rumah teraliri listrik. Ada beberapa desa yang sebagian rumah warganya masih tanpa penerangan, seperti Desa Sanca di Kecamatan Gantar, Desa Sukaslamet dan Kroya (Kecamatan Kroya), serta Desa Cikawung dan Jatimulya (Kecamatan Terisi).

Rasio elektrifikasi pelanggan rumah tangga di Indramayu juga rendah, hanya 57,28 persen. Angka itu jauh di bawah rasio elektrifikasi Jawa Barat yang berkisar 67 persen. Menurut Kepala Bidang Pertambangan dan Energi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Indramayu Dodi Dwi Endrayadi, bisa jadi angka riil rasio elektrifikasi Indramayu lebih besar karena belum semua rumah tak berlistrik, sudah terdata.

Kondisi geografi, mahalnya biaya pasang jaringan, dan lemahnya pemetaan jaringan oleh PLN menyebabkan banyaknya rumah tanpa listrik di Indramayu. Hutan jati di selatan Indramayu, misalnya, adalah salah satu kawasan yang sulit dipasangi jaringan listrik. Beberapa kampung berada di tengah hutan. Jalan masuknya pun masih setapak dan berupa tanah lempung.

Tak mengherankan jika untuk menyambung listrik, dibutuhkan biaya Rp 1 juta per rumah. Ongkos yang mahal bagi buruh tani dan petani tumpang sari di sekitar hutan Indramayu. Ongkos nyantol dari rumah tetangga, yang jarak antarrumah berjauhan, juga tak murah. Sebab, mereka harus menyediakan kabel yang sepanjang 500 meter lebih.

Energi alternatif penghasil listrik yang paling memungkinkan di Indramayu, sejauh ini hanya PLTS. Pembangkit listrik mikro hidro? Maaf, Indramayu tidak punya sumber air dan jeram-jeram sungai yang bisa menjadi penggerak turbin pembangkit. Sedangkan kekuatan dan intensitas angin yang tak teratur membuat pembangkit listrik tenaga angin pun tidak optimal.

Pemasangan instalasi PLTS di rumah warga dengan prioritas rumah tangga miskin dan sejahtera dimulai sejak 2001. Namun, tidak setiap tahun ada penyambungan ke rumah-rumah, disesuaikan dengan anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hingga Oktober 2010, tercatat 1.227 rumah warga Indramayu berjaringan PLTS. Terbanyak adalah pemasangan 2009 yang 556 jaringan. Tahun ini? Hanya 279 unit.

Setidaknya butuh biaya Rp 35 miliar agar sekitar 35.000 rumah warga di Indramayu teraliri listrik PLN. Itu dengan asumsi, ongkos pasang jaringan PLN per rumah seharga Rp 1 juta. Jika dengan PLTS, dana yang dibutuhkan lebih besar lagi karena tiap unit PLTS biaya alatnya berkisar Rp 5 juta.

Berharap dari anggaran kelistrikan di APBD Kabupaten Indramayu? Tidak prospektif juga. Tahun 2010, hanya ada anggaran untuk memasang jaringan di 100 rumah di desa. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tahun ini juga hanya menyiapkan pemasangan instalasi PLN di 700 rumah se-Indramayu, dalam program listrik desa. Jika anggaran per tahun dari pemerintah Jawa Barat dan Indramayu hanya untuk 1.000-1.200 unit rumah per tahun, diperkirakan, seluruh desa di Indramayu baru terang 30 tahun lagi.

Nasib Kampung Tegal Sapi, Desa Sanca, seperti di rumah Musta, adalah ironi program kelistrikan nasional. Sementara PLN berjanji akan menyambung aliran listrik ke rumah 1 juta pelanggan yang masuk daftar tunggu, pada Hari Listrik Nasional 27 Oktober lalu; Musta dan Casina masih harus prihatin dengan daya lampu PLTS yang amat terbatas. (Timbuktu Harthana/Adi Prinantyo)***

Source : Kompas, Senin, 8 November 2010 | 06:12 WIB

10 November 2010

Ribuan Anggota APDESI Indramayu Akan Gelar Pawai Ta’aruf Didepan Kantor DPRD

Tagih Janji Piagam Kesepakatan antara DPR-RI dengan Parade Nusantara :

Ribuan Anggota APDESI Indramayu Akan Gelar Pawai Ta’aruf Didepan Kantor DPRD

PENETAPAN – Koordinator AKSI wilayah Jatibarang, H Tarkani, AZ (tengah), diapit Ketua AKSI Indramayu, H Sumadi (kiri) serta Koordinator AKSI wilayah Widasari, H Sutisna (kanan) menyampaikan hasil penetapan bersama jadwal pawai ta’aruf APDESI Indramayu, di aula Kantor Desa Lohbener, Selasa (9/11)kemarin. (Foto-foto : Deswin/Satim)***

INDRAMAYU, Pendopo Indramayu - Dalam rangka menyikapi perjanjian piagam kesepakatan antara DPR-RI dengan persatuan rakyat desa nusantara (Parade Nusantara) tertanggal 22 Pebruari 2010 lalu, rencananya pada, Kamis (11/11) mendatang, secara serentak seluruh anggota Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) se-Indonesia akan melakukan aksi pawai ta’aruf dimasing-masing wilayahnya.

Tak terkecuali, hal serupa juga akan dilakukan ribuan anggota APDESI Indramayu yang tergabung dalam Gerakan Anyer Panarukan (GAP) untuk menyampaikan aspirasinya didepan kantor DPRD. Demikian dikatakan Koordinator Asosiasi Kuwu Seluruh Indonesia (AKSI) wilayah Kecamatan Jatibarang yang juga Kuwu Desa Kebulen, H Tarkani, AZ, Selasa (9/11).

Menurut Tarkani, pawai ta’aruf itu merupakan bentuk keseriusan APDESI se-Indonesia terhadap janji pihak DPR-RI maupun pemerintah pusat dalam menindaklanjuti isi perjanjian piagam kesepakatan itu yang dinilai hingga kini belum juga adanya tanda realisasi, diantaranya akan dibahas dan ditetapkan rancangan UU tentang desa atau apapun nama nomenklaturnya pada tahun 2010 ini.”Seluruh perangkat desa se-Indramayu, akan berkumpul dihalaman Sport Center pada pukul 10.00 WIB yang selanjutnya menyampaikan aspirasinya melalui aksi pawai ta’aruf didepan kantor DPRD Indramayu,”terangnya.

Dia juga memaparkan, selain membentuk pansus RUU tentang desa agar dibahas komisi II DPR-RI ada beberapa butir isi perjanjian piagam kesepakatan itu, seperti alokasi dana desa minimal 10 persen block grand atau langsung dari APBN, masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun atau 10 tahun, periodesasi keikutsertaan didalam pilkades dengan ketentuan batasan usia 60 s/d 65 tahun, biaya pilkades ditanggung 100 persen oleh APBD kabupaten, batasan masa jabatan perangkat desa sampai 60-65 tahun, penetapan dana purna bakti bagi kepala desa maupun perangkat desa apabila purna tugas, asuransi kesehatan, kematian bagi kepala desa maupun perangkat desa maupun keluarganya dan perlu dibentuknya kementerian khusus pedesaan.”Hasil komitmen bersama, dalam pawai ta’aruf itu seluruh peserta yang dikirimkan dari masing-masing desa minimal 10 orang dan harus mengenakan pakaian dinas harian (PDH) serta wajib dihadiri,”tegas Tarkani.

Untuk mengoptimalkannya, lanjut dia, pada Kamis (11/11), masing-masing APDESI se-Indonesia juga akan mengirimkan 10 orang pilihan untuk tugas tertentu, lima orang ditugaskan untuk menghadap DPR-RI dan lima orang lainnya langsung menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).”Hal itu, dilakukan agar keinginan APDESI se-Indonesia yang terlampir dalam isi piagam kesepakatan tersebut benar-benar disikapi serta diperhatikan oleh jajaran pemerintah pusat,”terang Tarkani.

Di tempat terpisah, Ketua AKSI Indramayu Indramayu, H Sumadi, mengakui, kesimpulan hasil menetapan rapat yang dihadiri para perwakilan kuwu se-Indramayu telah disepakati bila, Kamis (11/11) mendatang, akan digelar pawai ta’aruf guna menyampaikan aspirasinya dalam rangka menindaklanjuti perjanjian piagam kesepakatan.”Semula kegiatan pawai ta’aruf itu, akan dilakukan di dua titik di perbatasan Sewo antara Subang -Indramayu dan wilayah Kecamatan Lohbener. Namun, mengingat untuk menghindari agar tidak terjadinya kemacetan disepanjang jalur pantura maka pawai ta’aruf itu hanya ditentukan pada satu titik yakni didepan kantor DPRD Indramayu,”pungkasnya.(deswin/satim).***

9 November 2010

Yance, "Kuda Liar" Indramayu

FORUM

Yance, "Kuda Liar" Indramayu

Oleh TANDI SKOBER

Politik identik dengan olok-olok? Tentu tidak. Meski begitu, hiruk-pikuk politik tidak cuma layak diadopsi sebagai anekdot yang nganeh-nganehi, juga layak dijadikan arena zero sum game. Pepatah bilang, kuda liar dapat diburu, langkah Irianto MS Syafiuddin siapa yang tahu. Tentu itu setelah Aburizal Bakrie mencopot Irianto sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Barat periode 2009-2015.

Irianto tentu bukan kuda liar yang berputar pada rotasi risau politik Golkar. Maklum, wong Dermayu lebih memaknai nomena politik sebagai ruang teater masres, sandiwara rakyat yang bercerita tentang raja, rakyat, dan air mata. Ada raja dibalut baju kebesaran berwarna kuning keemasan sebagai tokoh protagonis. Ada paman patih berseragam baju hijau. Ada juga tokoh antagonis bergaun merah darah. Kuning, hijau, dan merah itu tak pernah berhenti tawafi sistem dan nilai-nilai holistisme sembah sungkem.

Dalam ruang teater masres Dermayonan, konon Yance diusung sebagai sosok raja bermahkota Golkar yang memancarkan aura warna kuning keemasan. Yance adalah sinatria lelananging jagad sing mumpuni. Jadi, tak aneh bila pada pemilu legislatif lalu di Kabupaten Indramayu Golkar Yance menjadi pemegang mayoritas parlemen dengan 48 persen (24 kursi) dari 50 kursi yang ada. Bukan hasil luar biasa pula manakala wanodya tercintanya, Anna Sophana, meraih 60,81 persen dalam pemilu kepala daerah Indramayu. Air cucuran birokrasi jatuhnya ke pangkuan istri juga. Anna dipastikan menjadi Bupati Indramayu 2010-2015. Terus? Wis dadi lelakon Dermayu, seperti diprediksi para pemerhati "Wiro Sableng 214", bahwa sang putra mahkota dimungkinkan naik panggung menjadi Bupati Dermayu 2015-2025!

Apa artinya? Yance tak pelak bagai matahari Indramayu sekaligus mata air peradaban yang menapaki takdir kuminter. "Dalam diri Yance ada the movement of the progressive societies has hitherto been a movement from status to contract," ucap saya lirih, suatu hari ketika Yance mengunjungi rumah saya di Indramayu, membicarakan kapling tanah di bekas lahan pabrik es pinggir Sungai Cimanuk. Itu terjadi sebelum Yance menjadi bupati.

Teater masres

Kini matahari Indramayu itu berhadapan dengan gemerlap emas Monas matahari Jakarta. "Emas Monas itu simbol bola mata politik Indonesia," ucap saya, akhir November 2009, ketika Yance berhasil mengumpulkan suara pada putaran kedua sebanyak 19 dari 30 suara pada Musyawarah Daerah Partai Golkar Jabar di Hotel Savoy Homann Bandung. Andai saya jadi Yance, akan saya biarkan Eldie Suwandie atau Dada Rosada menjadi sang pemenang. Kenapa? Menjadi raja kuning dalam ruang teater masres itu lebih menenteramkan kalbu.

Lagi pula, runcing kuning Golkar yang menancap di langit-langit Jakarta selalu saja bercerita tentang lelehan ejakulasi politik. Siapa menjadi apa telah menjadi bagian dari konflik internal. Tiap kali ada batuk-batuk di Cikeas, selalu saja ada garis risau di dahi Aburizal Bakrie. Siapa lagi yang akan menari di belantara politik Indonesia?

Itulah Indonesia, Yance! Politik selalu bergerak dalam ruang gelap. Hanya orang yang bisa melihat dalam gelaplah yang bisa mengalkulasi ke mana arah angin berembus. Lain halnya sandiwara masres Dermayonan, tanpa lampu, mustahil bisa menjadi tontonan dan tuntunan. Akan tetapi, sudah menjadi nasib dan nasab, mega mendung selalu memayungi ruang teater masres dan selalu bermula dari ejakulasi emas Monas manise.

Seperti pagi ini, saya baca hiruk-pikuk pencopotan jabatan Yance sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jabar periode 2009-2015. Lihatlah awan mendung itu menjadi miliaran tetes air hujan yang jatuh bersamaan. Imajinasi masres Indramayu menampungnya dalam mangkok-mangkok porselin halus dan dihidangkannya di atas tikar zikir di sebuah perkampungan kumuh. Pedih dan menyakitkan. Ini membuat risau paman patih berbusana gamis hijau.

"Secara kelembagaan kami sudah menyatakan sikap tegas. Jika benar Yance dipecat, seluruh jemaah Asysyahadatain akan menarik dukungan dari Golkar," kata Sekretaris Jenderal DPW Jemaah Asysyahadatain Jabar Habib Toha bin Yahya, Selasa (24/8).

Maka, siapa yang mencuri mimpi Indramayu ketika Jakarta menjadi air mata matahari yang mati rasa? Tidak jelas! Namun, dari sini Yance menapaki takdirnya. Yance terjebak oyod ming mang. Hari-hari ke depan bakalan ada tarian ilalang bergerak begitu liar dalam jemari hatinya. Ada gerbong-gerbong takdir yang meluncur di atas ribuan rel panjang berbelok-belok. Kumpul tanya pun mengukir di ruang hampa politik. Ke arah mana gerbong ini diluncurkan? Di stasiun mana takdir Golkar berganti lakon? Di jendela mana Yance bisa melihat lintasan nasib Golkar?

Stagnasi mimpi

Adakah itu gelisah Yance? Tak jelas! Yang ada di mata Yance adalah Golkar yang terperangkap dalam stagnasi mimpi yang diciptakannya sendiri. Elite Golkar "bersenggama" dengan impian-impian aneh. Mereka menjilati sisa lendir kekuasaan dari selangkangan raksasa bernama matahari Jakarta! Lantas, dalam ruang kumpul keplok selalu saja hasrat rakyat diadopsi sebagai kearifan-kearifan kekuasaan.

Adakah Yance masih mau menari di bawah tarian matahari yang goyah itu? Saya tersenyum. Tintaku mengalir pada ruang sejarah yang hangat pada abad XVII ketika kapal-kapal Portugis berniat menguasai Cerbon-Indramayu. Ada sebuah nama yang tidak dicatat sejarah, tetapi menjadi pembuat sejarah, bernama Ki Mardiah. Ia tidak ingin Indramayu menjadi adonan dolanan saudagar Portugis.

Caranya? Ia kumpulkan ratusan wanita Indramayu. Bokong ratusan wanita itu diolesi arang. Terus? Para wanita Indramayu itu nungging membelakangi laut pantai utara. Konon, saat kapten kapal Portugis itu meneropong pantai Dermayu, ia melihat ratusan pantat meriam siap tembak. Pantat-pantat hitam mirip meriam itulah yang membuat kapal-kapal Portugis berbalik arah meninggalkan Indramayu.

Adakah Yance akan mengikuti jejak cerdik Ki Mardiah? Saran saya, coba becermin pada lakon masres bertajuk Kentut Semar Kudapawana. Konon kentut Semar, meski pelan, mampu mengubah Batara Guru menjadi sosok Cungkring berkalung kuning.

TANDI SKOBER,

Penulis Lepas

Source : Kompas, Rabu, 29 September 2010 | 16:12 WIB

Yance Ditawari Pindah ke PDIP tanpa Syarat

Yance Ditawari Pindah ke PDIP tanpa Syarat

BANDUNG - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Provinsi Jawa Barat, Rudi Harsya Tanaya, menawarkan tanpa syarat khusus jika Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin (Yance) saat ini, ingin masuk ke PDIP. Bahkan, Rudi mengakui jika Yance merupakan politisi unggul di wilayah Jabar, khususnya Pantura.

Rudi menuturkan, kemampuan Yance dalam berpolitik sudah terlihat dari kemenangan partai Golkar di Kabupaten Indramayu dengan raihan suara yang mayoritas. Terkait hal itu, kata Rudi, jika Yance ingin masuk ke PDIP, maka pihaknya akan membuka luas pintu partai. Syarat khusus pun tidak akan diterapkan.

"Tidak ada syarat khusus untuk Yance. Paling syarat normatif saja. Jika akan masuk sangat dipersilahkan, karena PDIP partai terbuka," kata Rudi kepada wartawan seusai acara peresmian Gedung DPD PDI Perjuangan, di Jln. Pelajar Pejuang, Kota Bandung, Sabtu (6/11).

Sementara itu, PDIP perjuangan Jawa Barat juga berencana akan membuka rumah sakit umum yang melayani Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang bernama RS. Kimarhaen. Rumah sakit ini rencananya akan dibangun di gedung lama DPD PDIP Perjuangan Jabar di Jln. Soekarno-Hatta, Kota Bandung. Gedung lama tersebut nantinya akan direnovasi sesuai dengan kebutuhan rumah sakit nantinya.

Selain akan menyediakan rumah sakit untuk masyarakat yang tidak mampu, kata dia, pihaknya akan membuka stand nasi murah yang nantinya akan menjual kebutuhan pokok yakni nasi banteng.”Rencananya akan buka seminggu sekali atau sebulan sekali. Itu tergantung dari hasil kesepakan bersama,” katanya.

Dia menjelaskan pemberian nama nasi banteng tersebut, berdasarkan pada logo PDI Perjuangan yang menggambarkan sosok banteng. “Moncong putih,” katanya.

Menurut dia, pihaknya akan membuka stan tersebut di sebelah gedung DPD PDIP Jabar di Jln. Pelajar pejuang, Kota Bandung.”Dengan demikian, kami bisa terus membantu serta lebih dekat dengan masyarakat,”ungkapnya. (A-194/das)***

Source : Pikiran Rakyat Online, Sabtu, 06/11/2010 - 23:27

Komentar Berita

  • Surasedana. (not verified) on Senin, 08/11/2010 - 01:50

Setuju sekali usulan kang Rudi HT/PDIP Jabar;
Tapi Kang Yance,-kalau membubarkan Golkar Jabar
jangan langsung ke PDIP-masih ada kerikil duitMG.
Sebaiknya,tetap seperti rencana semula yaitu BedolDesa
ke Partai Demokrat Jabar.Biar lebih energik dan asyik.
Kita pasti asyik melihatnya.

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template