CARI BERKAH KLIK DI SINI

25 Februari 2011

Perkara Korupsi Divonis Rendah

Pendopo Indramayu Online

Jumat,
25 Februari 2011

Perkara Korupsi Divonis Rendah

JAKARTA, Pendopo Indramayu Online - Tren makin rendahnya putusan untuk perkara korupsi bukan isapan jempol semata. Hal itu terlihat dari putusan kasasi Mahkamah Agung sepanjang tahun 2010, yakni 60,68 persen kasus korupsi divonis rendah, antara 1 dan 2 tahun.

Hal itu terungkap dalam buku Laporan Tahunan MA 2010 yang disampaikan kepada publik, Kamis (24/2) di Gedung MA, Jakarta.

Selama tahun 2010, MA memutuskan 442 kasus korupsi. Dari jumlah itu, vonis bebas yang dijatuhkan hanya 43 kasus (9,73 persen). Sisanya dihukum.

Dari kasus yang dihukum MA, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Disusul 87 kasus atau 19,68 persen divonis 3-5 tahun. Hanya 13 kasus atau 2,94 persen yang divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen. Tidak ada hukuman seumur hidup atau mati meskipun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hukuman itu.

MA menghukum pula terdakwa korupsi dengan hukuman kurang dari satu tahun. Ada 28 kasus korupsi atau 6,33 persen yang terdakwanya dihukum kurang dari satu tahun.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, fakta itu sesuai dengan data ICW bahwa vonis untuk kasus korupsi memang rata-rata kurang dari dua tahun. Ia menyayangkan hal itu. Vonis ringan tak akan menjerakan koruptor. Apalagi, terpidana akan mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat sehingga masa pidana yang dijalaninya kian singkat.

Selain hukuman badan, MA menjatuhkan hukuman tambahan berupa hukuman denda dan uang pengganti pula. Total uang denda dan uang pengganti tahun 2010, sesuai dengan putusan MA, mencapai Rp 6,25 triliun.

Rekor terbanyak

Tahun 2010 MA mencetak rekor terbanyak menerima perkara dan terbanyak memutuskannya. Menurut Ketua MA Harifin A Tumpa, MA menerima 13.480 perkara tahun lalu. Ditambah tunggakan tahun 2009 sebanyak 8.835 perkara, total yang harus ditangani MA pada 2010 sebanyak 22.213 perkara. Dari jumlah itu, MA memutuskan 13.891 kasus sepanjang tahun lalu.

”Jumlah ini terbesar dalam sejarah MA. Baik yang masuk maupun yang putus,” kata dia.

Harifin mengatakan pula, MA akan memberlakukan pembatasan perkara masuk mulai tahun ini. Misalnya, perkara yang diancam hukuman maksimum satu tahun tak boleh diajukan kasasi.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengharapkan MA benar-benar memberlakukan kamar khusus dalam penanganan perkara tahun ini. Artinya, hakim agung akan dibagi-bagi sesuai bidang keahliannya. Hakim agung dari hukum agama, misalnya, tak bisa lagi menangani kasus kepailitan. Ini menjamin profesionalitas hakim. (ana/tra)***

Source : Kompas, Jumat, 25 Februari 2011

KOMENTAR

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • rade anoemertha

Jumat, 25 Februari 2011 | 13:40 WIB

MAU JADI APA??????????????????????????

Balas tanggapan

  • Wong Deso

Jumat, 25 Februari 2011 | 11:17 WIB

wahahahaha MA wahahahahaha By: wong deso

Balas tanggapan

  • Wong Deso

Jumat, 25 Februari 2011 | 11:15 WIB

wahahahaha MA wahahahahaha

Balas tanggapan

  • wilarno setiawan

Jumat, 25 Februari 2011 | 09:35 WIB

Katanya korupsi adalah penyakit akut, tapi fakta sangsinya sangat ringan....

Balas tanggapan

Bayi Kurang Gizi Ditelantarkan

Pendopo Indramayu Online

Jumat, 25 Februari 2011

Bayi Kurang Gizi Ditelantarkan

* SKTM Danggap Tak Berlaku

NURMALA DEWI (16 Tahun) terpaksa membawa kembali anaknya yang menderita gizi kurang, Saefulloh Ramdhani (6 Bulan) ke rumahnya di Desa Gabus Kulon Kec. Gabus Wetan Kab. Indramayu, setelah pihak rumah sakit menyatakan SKTM yang dimilikinya tidak berlaku (Foto: Hendra/KC****)

INDRAMAYU, Pendopo Indramayu Online - Baru satu hari dirawat di rumah sakit, seorang bayi penderita kurang gizi, Saefulloh Ramdhani (6 Bulan) dibiarkan terlantar di rumahnya di blok Kagok Desa Gabus Kulon Kec. Gabus Wetan Kab. Indramayu

Orang tua bayi, Nurmala Dewi (16 Tahun), mengaku terpaksa membawa pulang bayinya lantaran tidak memiliki biaya perawatan. Pihak Rumah Sakit menyatakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) DIANGGAP TIDAK BERLAKU, karena tidak dilampiri Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik ibu bayi sehingga Saefulloh harus dirawat dengan biaya umum.

Ditemui di rumahnya, Dewi mengatakan sejak 3 (tiga) minggu terakhir anaknya mengalami panas tinggi disusul dehidrasi berat. Karena khawatir, Dewi lalu membawa Saefulloh ke bidan desa dan Puskesmas setempat. Atas saran bidan dan dokter Puskesmas, Dewi lalu membawa anaknya ke RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol Kabupaten Indramayu

Di RSUD M. A. Sentot Saefulloh kemudian dirawat di ruang kelas 3 (tiga) dengan menggunakan fasilitas SKTM, namun selang sehari dirawat, pihak rumah sakit malah mempermasalahkan SKTM yang dibawa Dewi dan menyatakan tidak berlaku. “Saya dipaksa masuk pasien umum sehingga kehilangan hak sebagai warga miskin untuk memperoleh pengobatan gratis”. Tukas Dewi

Karena protes keluarga menyoal tidak berlakunya SKTM tidak digubris pihak rumah sakit, Dewi memutuskan untuk membawa pulang anaknya dengan alasan tidak memiliki biaya untuk perawatan. Melalui salah seorang kerabatnya, Bambang Adi Sutrisno (23 Tahun), bayi Saefulloh kemudian dibawa pulang. Sebelum pulang, Bambang mengaku membayar biaya perawatan selama satu hari kepada Rumah Sakit Rp 1,1 juta. Menurut Bambang uang tersebut merupakan hasil pinjaman dari seseorang.

“Saat itu sebenarnya saya meminta meminta waktu kepada petugas SKTM di Rumah sakit untuk menunda kekurangan administrasi karena perkantoran libur. Tapi mereka (petugas) keukeuh dan memaksa agar Saefulloh masuk dalam kelompok pasien umum dengan biaya yang sangat besar”. Ujar Bambang

Kasus “diusirnya” bayi penderita kurang gizi mengejutkan Direktur RSUD M. A. Sentot, dr. Deden Boni Koswara. Ketika dikonfirmasi, Deden membantah keras bahwa pihaknya mengusir Saefulloh karena alasan kelengkapan administrasi SKTM. Ia juga membantah pihak rumah sakit meminta pulang Saefulloh, apalagi memaksa orang tua bayi malang itu untuk pindah menjadi pasien umum.

MILIKI STANDAR

Menurut Deden, petugas dibagian SKTM sebenarnya menyarankan agar Saefulloh tetap dalam perawatan dokter, sementara administrasinya menyusul kemudian, “Seharusnya bayi tetap dirawat, sedangkan mengenai kelengkapan dokumen bisa diurus pada saat perkantoran buka. Jadi kami sama sekali tidak pernah mengusir apalagi memaksa untuk pindah ke pasien umum”. Tegas Deden

Ditambahkan Deden, pihak rumah sakit sebenarnya memiliki standar baku prosedur penggunaan SKTM bagi warga miskin. Yakni, warga miskin yang dirawat diberikan kesempatan 2x24 jam untuk melengkapi kekurangan administrasinya.

Namun jika terkendala waktu, pihak rumah sakit juga tetap memberikan kelonggaran dan tidak meminta warga miskin untuk masuk dalam pasien umum. Menanggapi kasus Saefulloh, Deden kemudian memerintahkan stafnya menjemput kembali bayi penderita gizi kurang untuk kembali dirawat di RSUD M. A. Sentot.

Dengan menggnakan ambulan, Saefulloh didampingi ibunya tiba di RSUD M. A. Sentot dan menempati bangsal perawatan kelas 3 (tiga). “Dari hasil diagnosa kami, Saefulloh menderita KEP (Kekurangan Energi Protein) tingkat II sehingga diperlukan perawatan insentif. Beratnya pun tidak normal untuk bayi seusia dia”. Ujar Deden (Hendra Sumiarsa/ “KC”)***

Source : realitanusantara.blogspot.com, Jumat, 25 Februari 2011

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template