CARI BERKAH KLIK DI SINI

27 Maret 2011

KOLOM POLITIK-EKONOMI Pemerintah Oleh Budiarto Shambazy

Minggu,

27 Maret 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

KOLOM POLITIK-EKONOMI

Pemerintah

Oleh Budiarto Shambazy

Apa tugas pemerintah? Di negara mana pun, begitu rakyat menyerahkan kekuasaan dan uang (pajak) kepada pemerintah, itu tak ubahnya seperti memberikan sebotol wiski dan kunci mobil kepada anak remaja.

Sebagian rakyat berpandangan, pemerintah otomatis akan bekerja.

Akan tetapi, sebagian rakyat lain, mungkin termasuk Anda, tentu berpendapat itu cuma khayalan belaka.

Maka, sebagian rakyat lebih suka jumlah pejabat pemerintah, terutama menteri, dibatasi saja. Sebaliknya, sebagian presiden kita punya kebiasaan menambah jumlah menteri supaya bisa berduyun-duyun kalau pergi menjalankan tugas seremonial ke mana-mana.

Tak sedikit rakyat menyayangkan, mengapa orang-orang pandai malah terjun ke pemerintah, seperti menjadi presiden, menteri, atau pejabat tinggi lain. Sebab, sesungguhnya masih banyak profesi lain yang dinilai lebih cocok bagi orang-orang pandai itu untuk mengabdi tanpa pamrih kepada bangsa dan negara.

Tentu masih ada rakyat yang yakin bahwa hidup kita ini tetap memerlukan peranan pemerintah. Sayangnya, tak sedikit pula rakyat cerdas yang kurang percaya prinsip itu karena mengharapkan pemerintah berperanan, ibaratnya memercayai takhayul saja.

Sebagian rakyat menganggap keberadaan pemerintah sudah sangat membosankan, macam sepeda tua. Namun, sebagian lagi menilai pemerintah tetap diperlukan untuk setidaknya menunjukkan bahwa Indonesia memang benar-benar sebuah negara adanya.

Coba bayangkan, semua tugas dan kewajiban pemerintah diatur hanya oleh kitab konstitusi UUD 1945 yang jumlah halamannya cuma puluhan lembar kertas. Coba bandingkan dengan jumlah halaman buku panduan mobil atau motor Anda!

Saking membosankannya, jarang rakyat tertarik menyaksikan berita tentang kepala negara dan kabinet meresmikan acara yang bersifat seremonial saja. Semua menteri, pejabat, istri, suami, ajudan, aspri, sopir, pengawal, dan wartawan pasti hadir sehingga tempat acara dijamin tumpah ruah!

Lalu, hitung pula biayanya. Jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah.

Lalu, apa gerangan manfaat acara seremonial itu? Semua orang pasti sudah tak ingat lagi keesokan harinya.

Belum lagi biaya membuat umbul-umbul, bendera, dan spanduk yang dipasang di jalan-jalan protokol, jembatan-jembatan penyeberangan, dan sebagainya. Jalan-jalan ditutup, polisi mondar-mandir, kadang kala kendaraan militer pun dikerahkan juga, dan biasanya dihadiri pula oleh para pengunjuk rasa.

Budaya gegap gempita upacara seremonial itu bersumber dari kultur bahwa pemerintah adalah sejenis kerajaan dengan kekuasaan absolut. Jangan lupa, sang raja atau ratu adalah wakil Yang Mahakuasa di dunia.

Sewaktu kampanye, presiden, wakil presiden, dan menteri dari partai-partai politik pandai membuat janji-janji surga. Mereka lebih hebat daripada manusia biasa dan hanya merekalah yang mampu memerintah Anda.

Mereka menyalahkan warisan masalah dari pemerintah sebelumnya sembari membuat janji-janji baru hanya untuk memikat hati Anda.

Buktinya, dulu ada duet capres/cawapres bermodalkan slogan ampuh ”Bersama Kita Bisa”.

Akan tetapi, begitu terpilih, mereka lupa semuanya. Mereka berkilah, marah, curhat, dan lain sebagainya. Jelas sudah terbukti, mereka manusia biasa.

Jadi, kesimpulannya, jadi presiden, wakil presiden, atau menteri sebenarnya tidaklah begitu susah. Ya, ibaratnya tergantung nasib atau garis tangan saja.

Nah, sudah 12 tahun kita gonta-ganti pemerintah dan kita sudah terbiasa kecewa. Sekarang ada koalisi, ada oposisi, dan tidak ada yang berdiri di tengah-tengah. Tahun 2014, tak mustahil mereka saling tukar tempat dan berganti rupa.

Jangan cepat percaya bahwa pemerintah masih bekerja karena Pemilu/Pilpres 2014 sudah di depan mata. Akan tetapi, jangan khawatir, pemerintah toh sudah bertekad akan menjadi mata-mata mengintai status Facebook dan Twitter Anda.

Menurut teorinya, pemerintah adalah memang pihak terakhir di dunia ini yang benar-benar mengetahui apa aspirasi Anda. Namun, teori ini tidak berlaku bagi Anda yang mempunyai saudara, teman, atau koneksi di istana.

Harap maklum, sejarah kekuasaan di negeri ini sudah telanjur lebih sering digenggam oleh segelintir orang yang masih ada hubungan darah. Kalau enggak percaya, pelajari saja betapa maraknya politik dinasti yang terjadi di banyak daerah.

Suami digantikan istri sebagai gubernur atau bupati, itu sudah biasa. Anak, menantu, atau ipar menjadi pejabat karena berasal dari satu trah, itu juga sudah jadi cerita lama.

Dan, rakyat biasa yang tidak punya hubungan keluarga dengan penguasa sudah tak peduli lagi dengan apa saja yang dikerjakan oleh pemerintah. Toh, 97 persen rakyat, kata sebuah teori, adalah warga yang bekerja bagi keluarga masing- masing sambil terus berdoa kepada Yang Mahakuasa.

Akan tetapi, jadi rakyat biasa pun di negeri ini tidaklah mudah.

Selain diintai Facebook dan Twitter-nya, kita masih saja disuguhi berbagai drama, mulai dari Ahmadiyah, ancaman bom, sampai rumor kudeta.***

Source : Kompas, Minggu, 27 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • erik halim

Sabtu, 26 Maret 2011 | 18:08 WIB

sebenarnya pemerintah di gaji masyarakat dr hasil pajak untuk melayahi masyarakat........ karena keasyikan, sekarang terbalik, masyarakatr melayani pemerintah dan aparat karena gajinya kurang besar, dan perlu bangunan yg sangat mewah, biar rakyat menderita, atau mati, yg pengting pemerintah.....

Balas tanggapan


  • m.gathul paimo suromenggolo

Sabtu, 26 Maret 2011 | 07:58 WIB

Mohon maaf mas Baz, kalau sudah begini yang salah siapa? Jambu Mente ? Jambu Monyet atau Jambu Bol....? Lantas bagaimana pula nanti anak cucu kita ?

Balas tanggapan


  • Jeffry Mangindaan

Sabtu, 26 Maret 2011 | 06:44 WIB

Enggak aneh, kalau ada yang ingin membangun dinasti. Yang aneh, sebagian rakyat memilih yang itu-itu saja.

Balas tanggapan


  • Doddy Salman

Sabtu, 26 Maret 2011 | 06:13 WIB

pemerintah itu kerjanya ya mrintah-mrintah rakyatnya, Om baz.

Balas tanggapan

OTONOMI DAERAH : Simalakama Pemekaran

Minggu,

27 Maret 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

OTONOMI DAERAH

Simalakama Pemekaran

Belasan perwakilan masyarakat Cirebon, Jawa Barat, dan Provinsi Banten beramai-ramai mendatangi Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu. Mereka datang khusus untuk memperjuangkan usulan pemekaran daerah. Parlemen menjadi pilihan karena pemerintah masih menutup pintu bagi pemekaran daerah.

Perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon meminta Komisi II menindaklanjuti usulan Cirebon menjadi provinsi tersendiri, berpisah dari Jawa Barat. Setidaknya lima kabupaten/kota diusulkan bergabung menjadi Provinsi Cirebon, yakni Kabupaten Majalengka, Indramayu, Kuningan, dan Cirebon serta Kota Cirebon.

Adapun masyarakat Banten yang diwakili DPRD Provinsi Banten mengusulkan pembentukan Kabupaten Caringin dan Kabupaten Cibaliung, yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Pandeglang.

Satu pekan sebelumnya, Komisi II juga menerima perwakilan masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Mereka juga mengusulkan Pulau Sumbawa menjadi provinsi sendiri.

Kedatangan perwakilan masyarakat daerah ke Komisi II itu menunjukkan keinginan masyarakat untuk membentuk daerah otonom baru tidak pernah padam. Usulan pemekaran daerah terus mengalir dan menumpuk di Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Hingga saat ini, DPR sudah menerima 98 usulan pembentukan daerah otonom baru, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Begitu pula DPD menerima sekitar 90 usulan daerah otonom baru. Adapun Kemdagri menerima 155 usulan pembentukan daerah otonom baru.

Banyaknya usulan pemekaran daerah menunjukkan seruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangguhkan atau moratorium pemekaran daerah tidak diindahkan.

Ada sejumlah alasan yang membuat masyarakat ingin membentuk daerah otonom baru. Salah satunya karena cakupan wilayah geografis sebuah daerah otonom terlalu luas. Luasnya cakupan wilayah geografis menyebabkan masyarakat kesulitan mengakses pelayanan publik karena jauh dari pusat pemerintahan daerah.

Alasan lain yang biasanya muncul adalah ketertinggalan ekonomi dan ketimpangan pembangunan. Pemekaran dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan pembangunan mengingat setiap daerah otonom pasti memperoleh anggaran dari pemerintah pusat, baik berupa dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK).

Mayoritas pengusul juga mencantumkan tujuan utama pemekaran, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan terbentuknya daerah otonom baru, minimal ada peluang kerja baru sebagai pegawai negeri sipil. Perekonomian juga diharapkan tumbuh bersamaan dengan pembangunan infrastruktur sehingga terbentuk lapangan kerja baru.

Gagal

Namun kenyataannya, mayoritas daerah otonom baru yang terbentuk pascareformasi gagal mencapai tujuan menyejahterakan rakyat. Pembentukan daerah otonom baru umumnya hanya menguntungkan segelintir elite lokal.

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro membenarkan bahwa mayoritas daerah otonom baru gagal. Kegagalan itu terjadi karena sebenarnya alasan politis lebih dominan ketimbang alasan lain. ”Terbukti bahwa elitelah yang mendorong pemekaran daerah. Namun, orientasinya untuk mengejar keuntungan politik dan ekonomi. Keuntungan politik dengan menguasai pemerintahan dan keuntungan ekonomi dengan menguasai proyek-proyek pembangunan di daerah,” katanya.

Daerah otonom baru juga lambat dalam mencapai tujuan peningkatan pelayanan publik dan efektivitas pemerintahan. Hasil evaluasi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri terhadap 57 daerah otonom baru di bawah tiga tahun menunjukkan, penyelenggaraan pemerintahan tidak efektif. Berbagai persoalan muncul, seperti sengketa batas wilayah, kurangnya sarana dan prasarana pemerintahan, pengalihan pegawai, serta masalah keuangan.

Sebagian besar daerah otonom baru kesulitan membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan karena minimnya sumber daya atau belum tergalinya potensi pendapatan. Untuk masalah keuangan, daerah otonom baru masih bergantung pada bantuan keuangan dari daerah induk dan alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Dengan demikian, praktis penambahan daerah otonom baru justru membebani APBN.

Menurut data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, pada tahun 1999 total DAU yang ditransfer ke daerah baru Rp 54,31 triliun. Pada tahun 2009, jumlah itu melonjak menjadi Rp 167 triliun.

Kurun waktu 10 tahun itu, memang jumlah daerah otonom di Indonesia bertambah 205 daerah otonom, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Saat ini, Indonesia memiliki 530 daerah otonom dan enam di antaranya merupakan daerah administratif.

Kegagalan itulah yang dijadikan salah satu pertimbangan pemerintah melakukan moratorium. Kemdagri merasa perlu menyusun desain besar penataan daerah sebelum mencabut status moratorium pemekaran daerah.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, usulan pemekaran rencananya mulai diproses setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah selesai direvisi.

Komisi II pun bertekad memperketat seleksi usulan pembentukan daerah baru. ”Kami tidak mau obral-obral lagi seperti yang lalu. Pemekaran dilakukan berdasarkan data faktual,bahwa daerah benar-benar layak dimekarkan,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR A Hakam Naja.

Memutuskan masalah pemekaran daerah sekarang ini memang seperti memakan buah simalakama. (Anita Yossihara)***

Source : Kompas, Minggu, 27 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • Muhammad Luthfi

Kamis, 24 Maret 2011 | 08:32 WIB

Sebelum dilakukan pemekaran secara permanen, perlu dilakukan fit and proper test atas daerah baru yang akan dimekarkan. Seperti adanya daerah pra-pemekaran selama 2-3 tahun. Hasil evaluasi tersebut yang menjadi pertimbangan, apakah suatu daerah layak atau tidak dimekarkan.

Balas tanggapan

PEMDA BANGKRUT : 10 Pemda Berpotensi Terjerat Perkara Pidana

Minggu,

27 Maret 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

PEMDA BANGKRUT

10 Pemda Berpotensi Terjerat Perkara Pidana

Banda Aceh, PENDOPO INDRAMAYU ONLINE - Sebanyak 10 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, dianggap bermasalah dalam anggaran dan berpotensi terjerat perkara pidana. Dugaan penyimpangan tersebut umumnya berupa kas bon atau utang proyek kepada pihak ketiga, kelebihan pembayaran pajak, utang kepada pihak ketiga untuk menutup utang lama sebelum pertanggungjawaban anggaran, dan menggunakan dana sisa lebih anggaran untuk deposito.

Ketua LSM Gerak Aceh Askhalani, Jumat (25/3), mengungkapkan, 10 daerah yang berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bangkrut dan bermasalah itu adalah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat Daya, Pidie, Bireuen, Aceh Tenggara, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Barat, dan Aceh Besar.

Menurut Askhalani, penyimpangan dalam tata kelola anggaran itulah yang membuat 10 kabupaten tersebut kini bangkrut karena terjebak utang.

”Berdasarkan hasil audit BPK 2009-2010, daerah-daerah itu kini bangkrut. Mereka terancam tak mampu lagi membiayai pembangunan untuk rakyat karena lebih dari 75 persen dana APBD tersedot untuk belanja pegawai dan operasional pemerintahan yang boros. Mereka juga disibukkan dengan utang kepada pihak ketiga dari tahun ke tahun,” ujar Askhalani.

Anggota Panitia Anggaran DPR Aceh, Abdullah Saleh, mengatakan, masalah kebangkrutan anggaran sebenarnya berawal sejak lama, bahkan sejak masa konflik. Pada masa konflik, banyak kepala daerah di Aceh yang berperilaku aji mumpung dan tak menggunakan dana anggaran dengan semestinya. Kebiasaan kas bon kepada pihak ketiga untuk membangun proyek pun sudah terjadi sejak dulu. ”Misalnya di Bireuen. Bupati yang lama, Mustafa Gelanggang, yang sekarang sudah dipidana, meminjam uang kepada pihak ketiga untuk membangun sejumlah bangunan yang tak sesuai kebutuhan, termasuk rumah dinas. Utang-utang ini yang kini terus ditanggung bupati berikutnya,” tutur Saleh.

Jika kondisi ini terus berlangsung, kata Saleh, dalam jangka waktu 10-15 tahun lagi Aceh diprediksi bakal kolaps. Saat ini Aceh masih dimanjakan oleh pusat dengan dana otonomi khusus (otsus) yang tak diterima daerah lain yang besarnya Rp 80 miliar hingga Rp 300 miliar untuk setiap kabupaten/kota. Total dana otsus untuk Aceh sebesar 2 persen dari total nilai dana alokasi umum nasional. Dana ini diberikan selama 15 tahun dan 1 persen untuk lima tahun berikutnya. ”Dengan dana otsus pun banyak yang bangkrut. Bagaimana nanti jika tak ada otsus?”

Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, menambahkan, fenomena kebangkrutan anggaran pemerintah daerah di Provinsi NAD adalah ibarat puncak gunung es. Diduga banyak daerah lain di Indonesia yang mengalami hal serupa. ”Pencitraan semu didasarkan pada capaian angka statistik serta permintaan usulan proyek yang tidak realistis dari kelompok politik pendukung bupati/wali kota amat jamak di negeri ini,” kata Nurdin, Guru Besar Pertanian Universitas Hasanuddin yang menjadi Bupati Bantaeng pada 2008.

Tak mungkin membayar

Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) menyatakan belum mengetahui adanya daerah yang bangkrut dan berutang kepada pihak ketiga untuk menutupi defisit anggaran guna membiayai sejumlah kegiatan rutin, seperti yang terjadi di wilayah kabupaten dan kota di NAD.

Sekjen Kemdagri Diah Anggraeni di Kota Padang, Jumat, mengatakan, tak mungkin membayar gaji pegawai dengan meminjam uang kepada pihak ketiga. ”Kan, punya APBD,” katanya.

Ia berulang kali menegaskan bahwa dirinya belum mendapatkan laporan soal adanya daerah yang bangkrut.

Namun, ia mengatakan, jika memang kebangkrutan anggaran itu terjadi di wilayah kabupaten dan kota di NAD, yang harus dimintai pertanggungjawaban ialah gubernur bersangkutan. Itu terkait dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.(HAN/INK/NAR/SIN)***

Source : Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • Otma Mbu Utmakaris

Sabtu, 26 Maret 2011 | 14:42 WIB

Wadduh.... padahal sekarang ini kami sedang sibuk mendukung proyek pengadaan di salah satu kantor dinas di prov aceh... Jadi bingung juga nih.. mo dilanjutkan apa gak ya.... Lah wong kalo nanti gak dibyr gmn???????? ala Mak.. tega nian orang-orang tu.... Ya ALLAH, mohon lindungilah dan bimbinglah kami...agar tidak menjadi hambaMU yang sesat...

Balas tanggapan


  • Ndlogok borselino

Sabtu, 26 Maret 2011 | 08:30 WIB

ya begitulah negeri ini , yang terlalu sibuk dengan pencitraan, politik traksaksional, pragmatisme, tinggal menunggu kehancuran

Balas tanggapan

PEMDA Bangkrut akibat Birokrasi Gemuk

Minggu,

27 Maret 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

PEMDA

Bangkrut akibat Birokrasi Gemuk

Banda Aceh, PENDOPO INDRAMAYU ONLINE - Kebangkrutan anggaran di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebabkan tiga hal, yaitu terlalu gemuknya birokrasi, mismanajemen, dan tekanan politik lokal. Pada saat yang sama, daerah-daerah gagal meningkatkan pendapatan asli daerah untuk menutup kebutuhan anggarannya. Tak mengherankan, banyak daerah yang berutang kepada pihak ketiga karena keuangan mereka bangkrut.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Said Muhammad, Kamis (24/3), mengatakan, umumnya kegiatan penganggaran, dari tahap perencanaan, penyusunan, hingga pelaksanaan, tidak efisien di daerah-daerah. Program kegiatan yang diagendakan terlalu banyak dan tidak disesuaikan dengan besar dana yang ada. ”Ini menunjukkan adanya mismanajemen.

Perencanaan pembangunan yang ada tak jelas mau bagaimana. Semestinya ada penyesuaian antara program dan anggaran. Ini juga menunjukkan lemahnya kontrol,” ujar Said.

Seperti diketahui, Provinsi NAD saat ini memiliki 18 kabupaten dan 5 kota (kelima kota adalah Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe, Sabang, dan Subulussalam). Hampir semua kabupaten dan kota di Aceh kini mengalami kebangkrutan anggaran. Sejumlah daerah, seperti Langsa, Bireuen, dan Aceh Utara, bahkan terjerat utang kepada pihak ketiga dan perbankan guna menutup anggaran hingga miliaran rupiah. Sebagian lagi tak mampu membayar gaji para pegawai. Mereka juga mengajukan permohonan bantuan dana kepada Pemerintah Provinsi NAD dan pusat untuk menutup defisit (Kompas, 24 Maret 2011, halaman 21).

Tekanan politik

Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Provinsi Aceh Makmur mengatakan, tekanan politik lokal membuat banyak program yang semestinya sudah dianggarkan terlebih dahulu terbengkalai dan harus dialihkan sesuai dengan aspirasi dan kepentingan anggota legislatif. Eksekutif takut terhadap tekanan politik legislatif. Tarik ulur kepentingan ini membuat penyusunan program kegiatan dan pelaksanaannya kacau. Bidang yang semestinya diprioritaskan untuk dibiayai terbengkalai. ”Gaji pegawai, misalnya, sangat tak masuk akal kalau sampai tak terbayar hingga setahun. Padahal, anggaran rutin semestinya didahulukan. Lalu, dana itu ke mana,” kata Makmur.

Pemerintah Kabupaten Pidie saat ini mengalami defisit hingga Rp 34 miliar. Sekretaris Daerah Pidie M Iriawan mengakui, Pemkab Pidie saat ini belum berencana menutup defisit ini dengan utang. Pidie masih berharap ada bantuan dana dari Pemprov NAD dan pusat. Defisit anggaran itu, kata Iriawan, terjadi karena besarnya proporsi jumlah pegawai yang harus didanai, yaitu 10.000 orang. Ia mengakui, ini terlalu gemuk dan menyerap hingga 70 persen anggaran atau sekitar Rp 452 miliar. Padahal, di Pidie masih ada perangkat desa, mukim, keuchik, takmir masjid, dan pengurus meunasah yang juga harus digaji. Akibatnya, 83 persen dari sekitar Rp 710 miliar anggaran habis untuk belanja pegawai dan operasionalnya.

Menyangkut tekanan politik lokal, Iriawan mengakui hal itu juga terjadi. Pada 2011, sebesar Rp 11 miliar harus dialokasikan untuk biaya aspirasi anggota DPR kabupaten terkait dengan agenda Pidie yang tengah mempersiapkan pemilu kepala daerah. Anggota Panitia Anggaran DPR Aceh, Abdullah Saleh, mengatakan, saat ini belum dibicarakan penyediaan anggaran untuk membantu mengatasi kebangkrutan anggaran di kabupaten dan kota. Ia hanya meminta DPR kabupaten/kota lebih fokus pada pembenahan anggaran dengan menerapkan anggaran berimbang, mengurangi birokrasi, dan mengefisienkan biaya operasional dinas. (HAN)***

Source : Kompas, Jumat, 25 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 12 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • Mohammad Rum

Jumat, 25 Maret 2011 | 17:39 WIB

Nasi sudah jadi bubur, ya yang ada bubur itu dimakan aja. selesai to?

Balas tanggapan


  • amiruddin cut hasan

Jumat, 25 Maret 2011 | 17:15 WIB

yah, semestnya kita tidak gegabah dalam melakukan pemekaran kabupaten. kalau ini sudah terjadi maka jalan pintas adalah mengstaknankan pembangunan infrastruktur yang didanai APBK, sebagai gantinya cari biaya DAK atau sumber lainnya di pusat atau pendonor untuk membiayai pembangunan atau proyek yang sifatnya kepentingan publik.

Balas tanggapan


  • moch kosim

Jumat, 25 Maret 2011 | 16:09 WIB

Rekrutmen KEPEMIMPINAN daerah syarat KKN dan menghasilkan birokrat yang minta Dilayani bukan melayani

Balas tanggapan


  • Ignatius Kriswahyu

Jumat, 25 Maret 2011 | 16:04 WIB

Kalau nggak mampu bayar ke Pihak Ketiga..., diambil dong?

Balas tanggapan


  • Delys Abineno

Jumat, 25 Maret 2011 | 13:05 WIB

ayo belajar deh dari Jembrana, SKPD yg tupoksix hampir sama distukan biar belanja pegawaix berkurang, harus miskin struktur kaya fungsi dunkz....

Balas tanggapan


  • Asnawi Achmad

Jumat, 25 Maret 2011 | 12:36 WIB

semua lini harus dibenahi mulai daripusat hingga desa..

Balas tanggapan


  • Hari Murti

Jumat, 25 Maret 2011 | 11:24 WIB

jogja sebentar lagi kegemukan juga. bangkrut karena aparatnya gaak produktif alias duduk dibayar.

Balas tanggapan


  • Jeffry Mangindaan

Jumat, 25 Maret 2011 | 09:32 WIB

Kebanyakan PNS...

Balas tanggapan


  • Reza Mago

Jumat, 25 Maret 2011 | 09:13 WIB

klo memang ternyata seperti ini di satukan saja kan jadi pengeluarannya lebih rendah

Balas tanggapan


  • Donny Rahmat

Jumat, 25 Maret 2011 | 08:56 WIB

otonomi daerah, bukannya daerah menjadi efisien, malah semakin amburadul initerjadi diseluruh otda,muncul "Raja-Raja" KKN baru, karena dipusatnya juga "Gemuk" Birokrasinya, Jadi pemerintah PUSAT = PEMDA, SAMA AJA, amburadul,boros, Lanjutkan????

Balas tanggapan


  • mama viartasiwi

Jumat, 25 Maret 2011 | 07:06 WIB

my oh my.. Aceh, sampai kapan mau selesai. Ayo tobat beneran, jgn asal kostumnya aja yg muslim tp hati dan perilaku jauuuuuhhh.

Balas tanggapan


  • ribut wahyudi sukiran

Jumat, 25 Maret 2011 | 07:04 WIB

satu lagi, kelucuan yg terjadi di republik ini. lalu buat apa ada pemda, kalau mikir untuk dirinya sendiri saja,kacau balau. lalu kapan memikirkan rakyat.

Balas tanggapan

Pemda TTU Pinjam Uang Pengusaha

Minggu,

27 Maret 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

Pemda TTU Pinjam Uang Pengusaha

Kefamenanu, PENDOPO INDRAMAYU ONLINE - Utang Pemda Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada pengusaha setempat mencapai miliaran rupiah. Utang itu merupakan tunggakan dari tahun 2010 yang belum dibayarkan. Sejumlah pengusaha mendesak pemda setempat segera melunasi utang itu.

Kepala Perwakilan Padma Indonesia Wilayah Timor, Agustinus Siki, di Kefamenanu, Sabtu (26/3), mengatakan, hasil investigasi di lapangan tercatat tahun 2010 terjadi defisit anggaran senilai Rp 23 miliar. Dana ini semestinya diprioritaskan untuk pembayaran gaji PNS hingga

Maret 2011, sebelum dana APBD 2011 cair.

”Belanja pegawai saja sampai defisit apalagi belanja publik. Sampai hari ini ada 30-50 pengusaha di Kefamenanu mengeluh soal utang dari setiap satuan kerja perangkat kabupaten. Jumlah utang berkisar Rp 100 juta–Rp 1,5 miliar per pengusaha,” kata Siki.

Defisit anggaran 2010 sebesar Rp 23 miliar, sehingga gaji ribuan pegawai negeri sipil setempat pada Januari 2011 belum dibayar. Pemda setempat pada Februari 2011 telah berusaha membayarkan gaji itu, sehingga aktivitas pemerintahan tidak mandek. Dana itu kemungkinan dipinjam dari pihak ketiga.

Pemilik minimarket Jabal Mart Kefamenanu, FHA (47), mengaku, memiliki piutang sekitar Rp 200 juta pada beberapa satuan kerja perangkat kabupaten (SKPK). Mereka mengadakan alat tulis kantor tahun anggaran 2010, tetapi sampai hari ini belum dibayar.

”Saya sudah menghadap bupati, dan bupati minta membuat surat tagihan ke setiap SKPK dengan tembusan ke bupati. Beberapa SKPK bersedia membayar pada April 2011 setelah dana APBD cair,” kata FHA.

Pengusaha lain, JB (43), mengaku memiliki piutang senilai Rp 100 juta kepada PDAM Kefamenanu. Dana ini dipinjamkan dengan perjanjian, proyek pengadaan air bersih di daerah ini senilai Rp 2,5 miliar ditangani JB. Dana ini dimanfaatkan pimpinan PDAM dan kepala daerah waktu itu untuk perjalanan dinas ke Jakarta. Pemda TTU diminta segera melunasi utang itu.

Asisten III Sekretariat Daerah TTU Felix Anunut membenarkan adanya utang dari beberapa SKPK. Tetapi, ia mengaku tidak tahu berapa nilainya karena belum ada laporan dari SKPK setempat. Hanya ada pengaduan dari beberapa pengusaha ke kantor Bupati TTU terkait utang.

Anunut berjanji segera melunasi utang-utang tersebut. ”Pembahasan APBD Kabupaten TTU tahun 2011 sudah selesai awal Maret 2011 ini, sehingga diperkirakan pada awal April, utang-utang itu sudah terlunasi,” ujar Anunut. (KOR)***

Source : Kompas, Minggu, 27 Maret 2011

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template