CARI BERKAH KLIK DI SINI

25 April 2011

OTONOMI DAERAH : Pemekaran Masih Bermasalah

Senin,
25 April 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

OTONOMI DAERAH



Pemekaran Masih Bermasalah

Pemekaran suatu daerah dipandang perlu demi mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun, di sisi lain banyak wilayah hasil pemekaran ternyata gagal menyejahterakan warganya.

Pemekaran wilayah bergulir sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan Daerah. Aturan ini memberikan panggung bagi semangat desentralisasi yang meminimalkan campur tangan pusat, dalam pengelolaan sumber daya alam, keuangan daerah, termasuk pemilihan kepala daerah. Selama tahun 1999-2004 tercatat terbentuk 148 daerah otonom baru.

Namun, regulasi itu menyimpan kelemahan, antara lain tak tegas mengatur tata cara pembentukan daerah baru. Akibatnya, banyak daerah pemekaran bermasalah karena mengabaikan studi kelayakan potensi daerah dan kemampuan ekonomi.

Aturan pemerintahan daerah ini direvisi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang diturunkan dalam PP Nomor 78 Tahun 2007. Peraturan yang baru ini lebih tegas. Selain persetujuan DPRD, usulan pemekaran daerah harus melampirkan dokumen aspirasi masyarakat, hasil kajian, dan peta wilayah calon daerah baru. Selain itu, kriteria dasar kelulusan juga ditambah, tak hanya mendasarkan pada total skor penilaian, tetapi juga hasil studi kelayakan keuangan yang komprehensif.

Hasilnya? UU baru itu tetap sulit membendung pemekaran. Sebanyak 63 daerah otonom baru terbentuk dalam rentang waktu 2005-2009. Hingga akhir 2009 daerah otonom seluruhnya menjadi 399 kabupaten, 98 kota, dan 33 provinsi. Masuk akal jika kemudian penundaan (moratorium) pemekaran wilayah akhirnya diserukan Presiden Susilo Bambang Yuhoyono, dan berlaku efektif pada 2010.

Moratorium memang tepat. Kajian Litbang Kompas menunjukkan penurunan kondisi sosial ekonomi masyarakat di tiga dari setiap lima daerah pemekaran. Dari 140 daerah pemekaran yang dikaji selama periode 2005-2008, 62 persen atau 87 daerah indeksnya tercatat menurun meski ini bukan mutlak fenomena daerah pemekaran. Secara keseluruhan, kondisi minim terjadi di 277 daerah otonom atau mencakup 64 persen dari daerah pemekaran, induk ataupun daerah yang belum dimekarkan.

Yang patut dicermati adalah sekitar sepertiga daerah ”tidak berprestasi” itu justru dijumpai di Jawa. Di luar Jawa, terjadi di Sumatera dan Kalimantan.***

(Yuliana Rini DY/ Indah Surya W/Litbang Kompas)

Source : Kompas, Senin, 25 April 2011

KOMENTAR

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • bambang harjono

Senin, 25 April 2011 | 08:43 WIB

Usul kepada redaksi, grafik gambar tolong di sertakan dalam web cetak.kompas ini , dengan grafik menolong untuk memahami, jangan hanya head line yang di sertakan. Terima kasih

Balas tanggapan


  • Kuncung Saputra

Senin, 25 April 2011 | 06:54 WIB

pemekaran daerah hanya ajang bagi2 kekuasaan

Balas tanggapan

JAJAK PENDAPAT KOMPAS : 2 Sisi Wajah Otonomi Daerah

Senin,
25 April 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

JAJAK PENDAPAT KOMPAS

2 Sisi Wajah Otonomi Daerah

Oleh SULTANI

Perkembangan yang terjadi selama 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa desentralisasi kekuasaan belum mampu menyentuh esensi dari perubahan sistem politik ini, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Meski demikian, otonomi daerah tetap menjadi pilihan terbaik ketimbang kembali ke sistem sentralisasi kekuasaan.

Polemik tentang pelaksanaan otonomi daerah yang mencuat kembali belakangan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan sejumlah kalangan terhadap dampak politik desentralisasi yang dijalankan. Wacana untuk menarik basis otonomi daerah dari tingkat kabupaten/kota ke tingkat provinsi merupakan alternatif untuk mengubah basis otonomi daerah yang selama ini dianggap gagal. Tarik-menarik antar-kekuatan politik dalam soal kekuasaan daerah menunjukkan begitu banyak kepentingan yang terlibat dalam urusan ini.

Sebagaimana diketahui, 5 fraksi dari 9 fraksi di DPR (55,6 persen) tetap menginginkan pelaksanaan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota seperti sekarang. Kelima fraksi itu ialah Fraksi Demokrat, Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Gerindra. Fraksi-fraksi ini berargumentasi, otonomi daerah di tingkat kabupaten bisa memperpendek mata rantai birokrasi sehingga fungsi pelayanan pemerintah daerah menjadi lebih efektif. Adapun Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Hanura belum memutuskan sikap akhir.

Berbagai dampak persoalan yang mencuat sejak otonomi daerah dijalankan pada 2001 telah memengaruhi pendapat publik. Pada level elite, problem korupsi yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah dan oknum anggota-anggota DPRD adalah gejala yang paling mengemuka. Berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi, pada 2004-2011 tercatat 115 kasus korupsi melibatkan 8 gubernur, 23 bupati/wali kota, dan 84 pejabat eselon, belum korupsi ”berjemaah” yang melibatkan anggota DPRD.

Dalam rangkaian jajak pendapat Kompas mencermati otonomi, fenomena korupsi di lingkungan birokrat daerah adalah yang selalu dinyatakan lebih buruk ketimbang indikator lain. Hal senada dinyatakan responden dalam menilai maraknya penggunaan money politic dalam ajang pilkada daerah. Di sisi lain, pembangunan fisik biasanya relatif cukup diapresiasi meski tak sama di semua daerah.

Pada jajak pendapat kali ini separuh bagian (49,2 persen) responden menilai penanganan korupsi yang melibatkan pejabat daerah dinilai tetap buruk, bahkan makin buruk. Persoalan paling buruk yang digarisbawahi responden adalah buruknya kinerja pemerintah daerah membuka lapangan kerja baru. Separuh lebih responden, dengan 41,7 persen di antaranya merasa kesempatan untuk mencari kerja atau membuka usaha di daerah mereka kini makin buruk. Hanya 23,8 persen responden yang menjawab semakin baik.

Sinisme

Sinisme responden terhadap otonomi daerah juga diungkapkan terhadap kemampuan pemerintah daerah dalam menjaga ketersediaan dan harga barang-barang kebutuhan pokok. Pemerintah daerah dinilai gagal menjaga distribusi barang-barang kebutuhan pokok sehingga pasokan untuk masyarakat tersendat. Sepertiga bagian (33,5 persen) responden menilai era otonomi daerah ini justru menyulitkan mereka memenuhi kebutuhan hidup meski 30,5 persen responden menjawab kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin pemenuhan kebutuhan hidup tetap baik.

Dampak baik

Penekanan responden pada aspek korupsi, pengangguran, infrastruktur, dan pemenuhan kebutuhan hidup yang negatif selama era otonomi daerah bukan berarti otonomi daerah selama ini gagal, ada aspek-aspek lain yang dinilai cukup berhasil.

Pemenuhan kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan pendidikan sangat diapresiasi oleh responden. Dalam hal kesehatan, 41,9 persen responden menyatakan, selama era otonomi daerah mereka semakin mudah mendapatkan pelayanan kesehatan. Boleh jadi, kemudahan yang dirasakan responden ini lantaran program kesehatan juga menjadi program nasional dari pemerintah pusat.

Hal sama diungkapkan 40,7 persen responden yang menyatakan bahwa kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi masyarakat semakin baik dirasakan pada era otonomi daerah ini. Setidaknya, untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang selama ini digalakkan oleh pemerintah sudah dirasakan oleh publik di daerah.

Demikian juga dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan sarana-sarana umum lain, dipandang makin baik. Hal sama dikemukakan dalam memandang kualitas birokrasi pemerintah daerah yang dirasakan meningkat, demikian juga dalam soal keamanan.

Hal-hal ini yang menyebabkan, meskipun banyak yang perlu disempurnakan, sejumlah kelemahan dalam sistem otonomi daerah ini tampaknya relatif masih bisa diterima oleh publik.(LITBANG KOMPAS)***

Source : Kompas, Senin, 25 April 2011

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template