CARI BERKAH KLIK DI SINI

19 April 2010

Rezim Keluarga di Pilkada : Terjadi Krisis Kaderisasi dalam Partai Politik

Grafis : Kompas, Senin, 19 April 2010

Rezim Keluarga di Pilkada

Terjadi Krisis Kaderisasi dalam Partai Politik

JAKARTA - Pemilu kepala daerah tahun 2010 mencemaskan. Pilkada kali ini menampilkan fenomena politik dinasti dengan munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala daerah yang berkuasa.

Pilkada yang memungkinkan semua orang berpartisipasi juga memunculkan artis-artis yang diragukan kapabilitasnya.

Pilkada 2010 ini adalah pilkada langsung kedua setelah pilkada langsung oleh rakyat dilaksanakan pada 2005. Saat itu dilangsungkan 226 pilkada, yaitu 11 pilkada provinsi, 179 kabupaten, dan 36 kota.

Dari 244 pilkada tahun ini, tujuh pilkada berupa pemilihan gubernur dan wakil gubernur, yaitu di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Jambi. Sisanya, sebanyak 202 pilkada kabupaten dan 35 kota, yang berada di 32 provinsi. Hari Minggu (18/4), misalnya, dua daerah di Provinsi Jawa Tengah melaksanakan pemungutan suara, yaitu Kota Semarang dan Kabupaten Purbalingga.

Maraknya pilkada itu membuat ratusan orang ”melamar” menjadi calon kepala daerah. Dari ratusan orang itu terdapat sejumlah calon yang kontroversial.

Di beberapa daerah, pertarungan keluarga dalam pilkada sangat mencolok, antara lain di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo; Indramayu, Jawa Barat; Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY); Kediri di Jawa Timur, dan Jembrana di Bali. Calon-calon yang maju dalam arena pertarungan memiliki hubungan keluarga, yaitu suami, istri, anak, atau kakak dan adik. Dari ruang keluarga bersaing di ruang publik.

Di Bone Bolango, seorang istri maju menantang suaminya yang kini berkuasa atau petahana (incumbent). Ismet Mile (62) yang mengakhiri tugasnya sebagai Bupati Bone Bolango kembali mencalonkan diri berpasangan dengan Ibrahim Dau dari Partai Demokrasi Kebangsaan. Istrinya, Ruwaida Mile, juga mencalonkan diri sebagai bupati berpasangan dengan Haris Hadju dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama.

Melawan kakak

Di Pilkada Bone Bolango pula, Mohammad Kris Wartabone yang berpasangan dengan Irwan Mamesah yang diusung PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional juga bertarung dengan kakaknya, Kilat Wartabone.

Kilat maju sebagai calon wakil bupati berpasangan dengan Bonny Oentu dari Partai Golkar. Kilat adalah wakil bupati yang pada Pilkada 2005 berpasangan dengan Ismet. Pilkada Bone Bolango dilaksanakan pada 5 Juli 2010.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bone Bolango Femmy Kristina Udoki, pekan lalu, mengatakan, pilkada di daerahnya paling ramai dibandingkan dengan pilkada kabupaten lainnya di Gorontalo karena diikuti delapan pasang calon.

Menurut Bonny Ointu, birokrat di Pemerintah Provinsi Gorontalo, banyaknya pasangan calon itu karena situasi politik di daerah tersebut kurang harmonis menyusul perpecahan rumah tangga calon petahana, Ismet Mile dengan istrinya.

Di Jawa Barat, istri dan anak Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin akan meramaikan bursa bakal calon Bupati Indramayu periode 2010-2015 pada Oktober mendatang. Keduanya kini masih bertarung memperebutkan dukungan dari Partai Golkar.

Istri Bupati Indramayu, Anna Sophana, yang selama ini menjabat Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), sejak akhir tahun lalu disiapkan untuk maju dalam pilkada Indramayu. Menurut Irianto yang akrab disapa Yance, istrinya didukung para ibu binaan PKK. Puluhan baliho besar yang bergambar Anna Sophana pun sudah terpampang di jalan-jalan utama Indramayu.

Saat yang sama, putranya, Daniel Mutaqien, juga maju mencalonkan diri. Ia bersaing dengan ibunya memperebutkan dukungan Partai Golkar. Ia menggantikan ayahnya. Yance yang sudah dua periode menjadi bupati, Jumat lalu, mengaku tak masalah dengan pencalonan istri dan anaknya itu. Dia menolak dikatakan membentuk rezim keluarga karena anak dan istrinya juga melalui mekanisme yang berlaku.

Upaya untuk melanjutkan rezim keluarga juga terasa di Bantul, DIY. Dalam pilkada pada 23 Mei nanti, Sri Suryawidati atau yang akrab dipanggil Ida Idham Samawi, istri Bupati Bantul Idham Samawi yang telah dua kali menjabat, muncul sebagai calon. Walaupun kapasitasnya diragukan oleh pengamat politik, popularitas Ida cukup tinggi karena mengandalkan sosok suami yang selama ini dianggap sukses memimpin Bantul.

Menurut Ida, keputusannya untuk maju bukan ingin melanjutkan kekuasaan, melainkan karena menangkap permintaan masyarakat. ”Tiap hari banyak kelompok masyarakat yang menghendaki saya maju,” katanya.

Artis ikut meramaikan

Selain diramaikan calon yang berhubungan keluarga, pilkada di sejumlah wilayah juga disemarakkan dengan tampilnya artis. Di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, kampung kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nama artis Julia Perez santer disebut sebagai bakal calon kepala daerah pada pilkada Desember 2010.

Jupe, panggilan akrab Julia Perez, secara resmi telah dipinang oleh koalisi delapan partai politik, meliputi lima parpol yang duduk di kursi parlemen dan tiga parpol nonparlemen.

Koordinator koalisi yang juga Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Hanura Pacitan Sutikno mengatakan, delapan partai pengusung itu meliputi Partai Hanura, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Karya Peduli Bangsa, dan Partai Patriot. Partai pengusung di luar parlemen adalah Partai Gerindra, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, serta Partai Bulan Bintang.

Di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Partai Demokrat memunculkan nama artis Vena Melinda sebagai calon bupati periode 2010-2015. Di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, ada Ratih Sanggarwati yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Ratih diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan sebagai calon kepala daerah. Ia berdampingan dengan Khoirul Anam, Ketua DPC PKB Kabupaten Ngawi.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AA Ari Dwipayana, mengatakan, fenomena pilkada itu mengindikasikan krisis kaderisasi dan seleksi dalam partai politik. Partai terlihat belum mampu menyiapkan kadernya untuk menduduki jabatan publik. ”Padahal, tugas dan fungsi utama partai adalah perekrutan politik untuk menduduki jabatan publik,” ujar Ari. (NIK/HAN/UTI/ENY/WER/NIT/ZAL/Kompas) ***

Source : Kompas, Senin, 19 April 2010 | 03:47 WIB

CALON KEPALA DAERAH : Ketika Istri Bertarung Melawan Suami

CALON KEPALA DAERAH

Ketika Istri Bertarung Melawan Suami

Wajah Ruwaida Mile (57) tampak berseri-seri. Padahal, Kamis (15/4) siang itu ia baru saja menjalani tes kesehatan yang melelahkan selama hampir lima jam untuk memenuhi persyaratan sebagai calon bupati Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. ”Saya senang sekali bisa mengikuti tes ini,” katanya.

Siang itu, Ruwaida ditemani anaknya, Hamdi. Keduanya tengah berkemas untuk pulang seusai makan di sebuah ruangan di Rumah Sakit Aloei Saboe, Kota Gorontalo. Ketika sejumlah wartawan mendekati dan meminta untuk wawancara, Ruwaida menantang, ”Silakan, mau tanya apa?” Ruwaida sadar, pers menjadi salah satu pilar untuk mendongkrak popularitas dalam pencalonan pilkada 5 Juli nanti.

Pencalonan Ruwaida bersama pasangannya, Haris Hadju, sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati Bone Bolango cukup menghebohkan masyarakat setempat. Pasalnya, Ruwaida menantang suaminya, Ismet Mile. Ismet, yang calon petahana (incumbent), lebih dulu mendeklarasikan diri sebagai calon bupati, didampingi Ibrahim Dau.

Dalam masyarakat Gorontalo, jarang ada istri melawan suami di depan publik. ”Tetapi, inilah politik, semuanya bisa terjadi. Istri bisa saja melawan jika merasa dianiaya,” kata Imran Nento, aktivis lembaga swadaya masyarakat Merdeka Gorontalo.

Mengenai pencalonan sang istri, Ismet Mile hanya berucap, ”Itulah demokrasi, tidak ada yang bisa melarang.” Ismet enggan berbicara mengenai sikap istrinya. Ia hanya duduk diam di antara tujuh pasang calon bupati dan wakil bupati lainnya. Meski beberapa kali berpapasan dengan Ruwaida di ruang pemeriksaan, keduanya tidak bertegur sapa.

Sama-sama ketua partai

Suami-istri itu adalah ketua partai politik setempat yang sama-sama sukses pada Pilkada Legislatif 2009. Ruwaida adalah Ketua Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang meraih empat kursi, sedangkan Ismet adalah Ketua Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) yang juga meraih empat kursi. Di DPRD Bone Bolango ada 25 kursi.

Ruwaida berkisah, awalnya ia tak terpikir menjadi calon bupati, apalagi menantang sang suami. Ketika suaminya, Ismet Mile, melakukan deklarasi tiga bulan lalu, ia pun ikut naik panggung. Sang suami malah mengatakan, antara PDK dan PKNU menjadi koalisi besar dalam pilkada.

Namun, dalam perjalanan waktu, pada pertengahan Maret lalu, Ruwaida maju sendiri. Katanya, atas permintaan masyarakat, terutama tiga putranya. Hubungan kurang harmonis dalam rumah tangga menjadi salah satu alasan Ruwaida maju.

”Bapak sempat marah besar ketika saya deklarasi. Tetapi, menjadi bupati kan tidak harus ada izin suami. Ini berbeda kalau suami kawin lagi, ya, harus ada izin istri,” katanya.

Bagai gayung bersambut, pencalonan Ruwaida mendapat sambutan dari masyarakat. Ratusan warga memadati setiap pertemuan yang diadakan Ruwaida, terutama kaum perempuan. ”Ke mana-mana, Ibu Ruwaida selalu menangis. Ibu Ruwaida merasa terluka karena dikhianati,” kata Ratna, warga Iloheluma, Bone Bolango.

Belakangan, Ruwaida merasa sakit hati ketika ”jabatan” dia sebagai Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Kabupaten Bone Bolango dicopot oleh sang suami, diikuti penarikan mobil dinas Kijang Innova. Mobil dan jabatan itu kemudian diserahkan kepada Yayuk, istri kedua Ismet. (Jean Rizal Layuck/Kompas) ***

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

hamim pou @ Senin, 19 April 2010 | 13:27 WIB
pilkada bonbol memang ramai, ada suami isteri, ada pula kakak adik. terpulang pada masyrakat utk menilainya

sin @ Senin, 19 April 2010 | 12:04 WIB
Contoh pemimpin apaan ini. mudah-mudahan rakyat nya tahu model pemimpin macam ini dan gak memilihnya. Pemimpin kaya gini akan bikin rusak daerahnya...

Source : Kompas, Senin, 19 April 2010 | 04:29 WIB

Demokrasi Lokal Hancur : Partai Politik Masih Mengandalkan Calon Populer

Demokrasi Lokal Hancur

Partai Politik Masih Mengandalkan Calon Populer

JAKARTA - Jika modus penjaringan calon kepala daerah yang mengedepankan oligarki dan dinasti politik itu tetap diteruskan, lembaga dan proses demokrasi di tingkat lokal bisa hancur.

”Partai tidak mau belajar untuk menyiapkan kader-kadernya sejak lama yang akan diusung dalam pilkada. Akibatnya, menjelang pilkada, mereka tidak memiliki kader atau calon yang kompetitif sehingga mengambil jalan pintas dengan mengusung calon yang dianggap memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi meski tidak berkualitas,” kata dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Haryadi, Sabtu (17/4).

Haryadi diminta mengamati berjalannya proses pencalonan dalam pemilihan umum kepala daerah yang diwarnai keluarga dan artis. Menurut dia, model pencalonan kepala daerah yang dilakukan partai politik dengan mengusung artis, keluarga petahana (incumbent), atau tukar posisi dari semula kepala daerah menjadi calon wakil kepala daerah menunjukkan buruknya sistem pengaderan dan perekrutan calon kepala daerah oleh partai politik.

Partai politik di daerah sebenarnya memiliki banyak kader yang berkualitas untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Untuk membuat mereka populer dan memiliki elektabilitas, calon perlu disosialisasikan kepada publik dengan rajin menyapa masyarakat serta menggerakkan jejaring organisasi massa yang ada di daerah. Hal itu sudah harus dilakukan minimal dua tahun sebelum pilkada.

”Sapaan kepada masyarakat yang lama tidak identik dengan dana besar yang harus dimiliki calon,” kata Haryadi.

Haryadi menambahkan, dunia politik sebenarnya terbuka bagi siapa saja, termasuk artis dan keluarga petahana. Namun, mereka harus memiliki karier politik terlebih dahulu sehingga tidak secara tiba-tiba dicalonkan sebagai kepala daerah.

Secara terpisah, Koordinator Desk Pilkada Partai Persatuan Pembangunan Chozin Chumaedy mengakui, tukar posisi dalam pilkada dari kepala daerah menjadi calon wakil kepala daerah dan majunya keluarga petahana, baik anak maupun istri dalam pilkada, tidak elok. Popularitas saja tak cukup karena publik memiliki kriteria tersendiri dalam memilih calon-calon pemimpin mereka.

Namun, hal itu sangat bergantung pada pribadi mereka yang dicalonkan, apakah memiliki kemampuan manajerial dan pengetahuan tentang pemerintahan atau tidak. ”Toh, mereka harus mendapat dukungan dari masyarakat. Karena itu, partai tidak bisa memaksakan kehendaknya,” kata Chozin.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok mengungkapkan, pertimbangan pertama untuk memilih calon kepala daerah adalah peluang untuk menang dan mempunyai popularitas yang tinggi. ”Ada dua jalur, yaitu pertama kami melakukan survei, siapa yang paling tinggi, itulah yang dipilih. Kedua, masukan dari kader di bawah,” ungkapnya.

Namun, menurut Mubarok, seseorang yang menempati urutan pertama dalam survei belum tentu dipilih oleh DPP Partai Demokrat, tetapi bisa juga nomor urut kedua atau ketiga. ”Kalau nomor dua atau nomor tiga mempunyai lebih banyak potensi yang bisa dikembangkan, kami akan memilihnya meski dia bukan kader partai,” ujarnya.

Lebih lanjut Mubarok mengatakan, Partai Demokrat lebih memerhatikan masukan dari kader dan rekam jejak calon kepala daerah untuk mencalonkan kepala daerah dalam pilkada. ”Umumnya, kami mengambil incumbent yang sudah berpengalaman atau yang mempunyai pengalaman pada badan usaha milik negara,” ujarnya.

Untuk pilkada tahun ini, menurut dia, jumlah kader partai dan orang dari luar partai yang dicalonkan oleh Partai Demokrat hampir sama. ”Kalau orang dari luar kader partai, mempunyai reputasi yang baik dan uang untuk biaya sosialisasi. Realitasnya, jika mau menjadi calon harus mempunyai uang untuk biaya kampanye,” katanya. (MZW/sie/Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 19 April 2010 | 04:59 WIB

PEMILU KEPALA DAERAH : Syarat Moral Bukan untuk Membatasi

PEMILU KEPALA DAERAH

Syarat Moral Bukan untuk Membatasi

JAKARTA - Rencana pengajuan persyaratan tidak cacat moral bagi calon kepala daerah, seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, pekan lalu, disambut baik oleh berbagai kalangan. Persyaratan itu diperlukan untuk mencari calon kepala daerah yang berkualitas, bukan untuk membatasi hak warga negara untuk dipilih.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli, di Jakarta, Sabtu (17/4), mengatakan, konstitusi Indonesia memang memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memilih dan dipilih. Namun, harus ada persyaratan yang bisa menjaga moralitas calon pemimpin.

Menurut Lili, syarat moralitas itu diberlakukan bukan untuk membatasi kebebasan warga negara untuk dipilih. Syarat itu diperlukan untuk mencari calon pemimpin yang cakap serta memegang teguh asas kepatutan dan kesantunan. Seorang pemimpin harus bisa menjadi panutan masyarakat sehingga tidak boleh cacat moral.

Moralitas selalu menjadi acuan masyarakat dalam memilih pemimpin di negara-negara yang menganut sistem demokrasi liberal. Meski tak ada peraturan resmi, moralitas calon pemimpin selalu menjadi pertimbangan warga Amerika Serikat dalam menentukan pilihan. Sementara di Indonesia, moralitas calon pemimpin kadang kala diabaikan.

Secara terpisah, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, menyatakan setuju jika calon pemimpin tak boleh cacat moral. Namun, menurut dia, syarat tersebut tak harus dilegalformalkan dalam bentuk undang-undang.

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ida Fauziyah, menambahkan, sebenarnya syarat moralitas sudah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 58 Huruf a disebutkan, calon kepala daerah adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (NTA/KOMPAS) ***

Top of Form

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Hardizal Bahar @ Senin, 19 April 2010 | 12:37 WIB
Ide mendagri cukup bagus dan utopis, tapi pelaksanaannya susah dalam menentukan kriteria moral secara praktis, antara aktual dan hukum formal.

Source : Kompas, Senin, 19 April 2010 | 04:58 WIB

Pilkada Sleman Bisa Dua Putaran

Pilkada 2010 dengan Cara Mencoblos

Pilkada Sleman Bisa Dua Putaran

YOGYAKARTA - Komisi Pemilihan Umum DI Yogyakarta optimistis perubahan cara memberikan suara pada Pemilihan Kepala Daerah 2010 tidak akan membingungkan pemilih. Berbeda dengan pemilihan umum DPR, DPRD, dan DPD serta pemilihan presiden/wakil presiden sebelumnya yang memakai cara mencentang, pilkada memakai cara lama yaitu mencoblos.

"Masyarakat cerdas, pada saat pemilu legislatif dan pilpres diubah dari mencoblos menjadi mencentang dikhawatirkan akan banyak terjadi kesalahan, ternyata tak banyak masalah," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY Any Rohyati di Yogyakarta, Minggu (18/4).

Menurut Any, perubahan dari mencentang menjadi mencoblos tidak akan memicu banyak kesalahan dalam memberikan suara. Cara itu justru lebih memudahkan masyarakat. "Kami hanya menyediakan alat coblos, tidak akan menyediakan alat tulis di bilik suara sehingga tidak mungkin pemilih akan mencentang," katanya.

Berdasarkan pengalaman saat pemungutan suara pemilu DPR tahun 2009 di DIY, dari 2.007.359 suara, jumlah suara sah mencapai 1.752.775, sedangkan suara tidak sah 254.584. Oleh karena itu, KPU DIY yakin tingkat kesalahan memberikan suara pada Pilkada 2010 bakal jauh lebih kecil.

Tata cara mencoblos itu diatur di dalam Undang-Undang (UU) 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan KPU Nomor 72 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. "Kami belum bisa memprediksi berapa persen tingkat kesalahannya nanti, tetapi kami yakin kecil," kata Any.

Secara terpisah, terkait perubahan cara memberikan suara itu, anggota KPU Sleman, Suryatiningsih, menilai, cara mencoblos akan lebih memudahkan pemilih. "Dengan mencoblos, potensi terjadi surat suara tidak sah akan berkurang," kata Suryatiningsih.

Intensifkan sosialisasi

Any menyatakan, untuk menginformasikan perubahan cara memberikan suara, KPU provinsi dan KPU kabupaten akan mengintensifkan sosialisasi. Mulai hari ini, Senin (19/4), akan ditayangkan iklan layanan masyarakat sosialisasi pilkada di 20 stasiun radio dan dua stasiun televisi lokal di Yogyakarta.

Terkait persiapan pelaksanaan Pilkada 2010 di tiga kabupaten, yakni Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul, lanjut Any, sejauh ini berjalan relatif baik. "Dari laporan resmi mingguan, KPU tiga kabupaten sangat siap termasuk bila harus diadakan putaran kedua," ujarnya.

Menurutnya, Pilkada Sleman memiliki kemungkinan terbesar berlangsung dua putaran. Dibandingkan Bantul dan Gunung Kidul, Sleman paling banyak peserta, yakni tujuh pasangan calon.

Pilkada Sleman berpotensi berlangsung dua putaran karena aturan menegaskan bahwa perolehan suara terbanyak harus di atas 30 persen dari jumlah suara sah. Itu sulit tercapai dengan peserta tujuh pasang. (RWN/PRA/Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 19 April 2010 | 14:23 WIB

Pilkada Kebumen : Tingginya Golput Cermin Ketidakpuasan

Pilkada Kebumen Bakal Dua Putaran

Tingginya Golput Cermin Ketidakpuasan

KEBUMEN - Butuh dua putaran pemilihan untuk mendapatkan Bupati Kebumen 2010-2015. Berdasarkan rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Umum Bupati Kebumen 2010 pada Sabtu (17/4), tidak ada satu pun dari empat pasangan calon yang perolehan suaranya melampaui 30 persen total suara sah.

Dua pasangan calon yang bakal maju ke putaran kedua adalah pasangan Buyar Winarso-Djuwarni dan Nashiruddin Al Mansyur-Probo Indartono. Kedua pasangan calon tersebut menempati dua teratas perolehan suara. Mereka mengungguli pasangan Poniman Kasturo-Nur Afifatul Khoeriyah dan Rustriyanto-Y Rini.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, jika tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya mencapai 30 persen dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.

Pasangan Buyar Winarso-Djuwarni diusung oleh koalisi Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerindra, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama yang tergabung dalam Koalisi Kebumen Bersatu. Sementara pasangan Nashiruddin Al Mansyur-Probo Indartono didukung oleh Partai Demokrat. Saat ini, Nashiruddin masih menjabat sebagai Bupati Kebumen.

Kendati rekapitulasi sudah tuntas, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kebumen, Teguh Purnomo, Sabtu (17/4), mengatakan, pihaknya belum memutuskan mengenai pilkada putaran kedua.

"Kami masih konsentrasi rapat pleno internal KPU penetapan pemenang pilkada pada Senin esok," kata Teguh.

Setelah adanya penetapan tersebut, lanjut Teguh, pasangan calon yang merasa keberatan dengan hasil rekapitulasi suara pilkada mempunyai waktu 3 x 24 jam untuk mengadukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi.

"Pada Jumat, KPU Kebumen baru akan memutuskan akan mengadakan pilkada putaran kedua atau tidak," kata Teguh.

Teguh juga menjelaskan, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada Kebumen relatif rendah, yakni 63,15 persen dari total pemilih tetap sebanyak 973.723 pemilih. Hampir 70 persen pemilih yang tak hadir sedang merantau bekerja di luar kota. Sebagian kecil pemilih yang tak sempat ke TPS karena harus bekerja serta pemilih lanjut usia yang sakit.

Selebihnya, hampir 18 persen pemilih yang tak hadir merupakan pemilih yang masuk "golongan putih", yakni sebanyak 50.538 pemilih. Pemilih "golput" itu sebagian besar kalangan usia produktif.

Teguh mengatakan, tingginya golput perlu menjadi perhatian pasangan calon bupati-wakil bupati. Hal itu berarti mereka masih belum puas dengan kepemimpinan yang ada di Kebumen.

Sementara dugaan politik uang pada Pilkada Kebumen ini mencapai 28 kasus. Empat kasus di antaranya telah diberkaskan dan masih ada 24 kasus yang masih harus diberkaskan pada pekan ini.

"Karena kasus politik uang di Kebumen ini cukup serius, pekerjaan kami pun ikut dibantu oleh dua orang tenaga dari Badan Pengawas Pemilu," kata Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kebumen Suratno. (MDN/KOMPAS)***

Source : Kompas, Senin, 19 April 2010 | 13:41 WIB

PILWALKOT SEMARANG : Administrasi DPT Masih Buruk

PILWALKOT SEMARANG
Administrasi DPT Masih Buruk

SEMARANG - Administrasi daftar pemilih tetap (DPT) dalam rangka pemilihan umum wali kota dan wakil wali kota Semarang masih buruk. Terbukti pada hari pemungutan suara, Minggu (18/4), masih saja ditemukan pemilih yang tidak tercantum dalam DPT.

Di tempat pemungutan suara (TPS) 05 di Kelurahan Krobokan, Semarang Barat, Rusdi (40), warga RT 09 RW 02 Kelurahan Krobokan, tidak diperbolehkan mencoblos oleh kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) karena namanya tidak tercantum dalam DPT.

Ia berupaya menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) kepada petugas KPPS di TPS tersebut, tetapi ditolak karena nama Rusdi tidak tercantum dalam DPT.

"Waktu Pemilu 2009, saya terdaftar sebagai pemilih. Saya pikir, saya juga terdaftar sebagai pemilih di pilwalkot. Ibu dan adik saya yang sudah pindah ke Jakarta namanya justru ada dalam DPT," ujar Rusdi.

Masalah DPT juga ditemukan di TPS 06 Kelurahan Kedungmundu, Kecamatan Tembalang. Menurut ketua KPPS, Joko, ada 17 warga di RT 10 kelurahan tersebut yang tidak mendapat kartu pemilih. Selain itu ditemukan 30 kartu pemilih ganda.

Anggota Panwas Pilwalkot Semarang, Denny Septiviant, mengatakan juga mendapat laporan serupa. Di beberapa TPS terdapat warga Kota Semarang yang tidak tercantum dalam DPT. Masalahnya, perlakuan setiap petugas KPPS berbeda satu sama lain.

Ada KPPS yang tidak menerima, tetapi ada juga yang menerima meskipun warga hanya membawa KTP.

"Mereka merasa mengenal warganya, sehingga diperbolehkan tetap mencoblos, dengan diberi catatan khusus. Namun, perbedaan perlakuan ini berpotensi menimbulkan konflik," ujar Denny.

Komisi Pemilihan Umum Kota Semarang per tanggal 16 April 2010 memperbaharui DPT Kota Semarang. Jumlah DPT yang sebelumnya 1.100.078 bertambah menjadi 1.100.312 orang.

Anggota KPU Kota Semarang Joko Santoso mengatakan, perubahan jumlah DPT tersebut berdasarkan surat dari KPU Jawa Tengah bernomor 0213/KPUProv-012/III/2010 tanggal 26 Maret 2010, perihal Pemeliharaan DPT Pemilukada.

Dalam surat yang ditujukan kepada KPU Kabupaten Blora, dan ditembuskan ke 18 KPU kabupaten/kota se-Jateng, itu disebutkan KPU dapat melakukan pembetulan atau perubahan DPT jika terjadi kekeliruan dalam menghitung atau merekapitulasi.

Ketua KPU Jateng Ida Budhiati menegaskan, surat itu berlaku untuk seluruh KPU di Jateng yang tercantum dalam tembusan surat. "Jika terjadi kesalahan, adalah kewajiban penyelenggara untuk mengoreksi. KPU harus melindungi hak pilih masyarakat," kata Ida. (UTI/*/Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 19 April 2010 | 13:26 WIB




 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template