CARI BERKAH KLIK DI SINI

23 Desember 2009

Catatan Akhir Tahun 2009 Tentang Birokrasi

CATATAN AKHIR TAHUN

Reformasi Birokrasi = Remunerasi?

Oleh : Susana Rita Kumalasanti

Pada 10 Desember 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Mahkamah Agung. Presiden kala itu secara tegas menyatakan dukungannya terhadap reformasi birokrasi di jajaran pengadilan. Setelah itu, pertemuan-pertemuan pimpinan Mahkamah Agung (MA) dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—pascagonjang-ganjing perkara dugaan suap Harini Wiyoso yang melibatkan lima pegawai MA—dilakukan. KPK berkomitmen membantu proses reformasi birokrasi di MA.

Sampai akhirnya, tercapailah kesepakatan untuk memasukkan MA menjadi salah satu pilot project reformasi birokrasi selain Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Berbagai hal disiapkan, MA bersama Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan target-target yang harus dipenuhi.

Ada lima hal yang kemudian sering disebut quick wins, yaitu transparansi putusan/peradilan, pengembangan teknologi informasi, implementasi kode etik, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta analisis pekerjaan, evaluasi, dan remunerasi (tunjangan kinerja).

Pada September 2007 disepakatilah pemberian remunerasi kepada pegawai MA senilai 70 persen dari total yang disepakati dengan pemerintah. Remunerasi itu riil diterima pegawai sekitar pertengahan 2008, dirapel sejak September 2007.

Perubahan-perubahan di lingkungan MA mulai terlihat meski terasa agak lambat. Situs pengadilan sedikit demi sedikit dibangun sampai akhirnya pertengahan 2008 sekitar 250 pengadilan sudah memiliki situs.

Pegawai lebih tertib dalam hal masuk dan pulang kantor (masuk pukul 08.00, pulang pukul 17.00). Maklum, terlambat masuk sama artinya remunerasi diterima tak utuh. Membolos sehari atau dua hari, potongan remunerasi cukup besar. Akhirnya, pegawai memang lebih tertib meskipun ketika siang hari beberapa bagian tak tahu mesti mengerjakan apa. Beban kerja tinggi tak datang setiap hari.

Ada beberapa pegawai yang memilih duduk di ruangan lain (temannya), beberapa memilih belanja ke Pasar Baru atau Tanah Abang yang jaraknya cukup dekat, ada juga yang mengantuk di mejanya.

Memang tidak semua terlihat tanpa aktivitas. Di bagian-bagian lain, beban pekerjaan justru sangat tinggi. Misalnya, kepaniteraan yang harus kejar tayang mengingat rata-rata hakim agung memutus 1.000 perkara dalam satu bulan. Dengan jumlah panitera yang minim, proses minutasi perkara menjadi persoalan.

Sejak kepemimpinan Bagir Manan dan kemudian diteruskan oleh Harifin A Tumpa, proses pengikisan tumpukan perkara memang sesuatu yang serius. Harifin berkali-kali mengungkapkan bahwa perkara yang sudah berada di MA lebih dari dua tahun (tunggakan perkara) mendapat prioritas penyelesaian (5.346 perkara per September 2008). Perkara baru tidak boleh diselesaikan lebih dari dua tahun.

Perilaku hakim

MA pun berusaha menunjukkan keseriusannya dalam penegakan kode etik perilaku hakim. Dalam tiga bulan terakhir, MA sudah menggelar tiga kali sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Satu hakim (bekas ketua pengadilan negeri) direkomendasikan untuk dipecat, dua hakim dinonpalukan atau tidak boleh menangani perkara masing-masing dua tahun dan 20 bulan.

Ketua Muda Pengawasan MA Hatta Ali pernah mengungkapkan, pihaknya sudah menjatuhkan sanksi setidaknya kepada 162 pegawai pengadilan (74 di antaranya hakim). Badan Pengawasan MA terus bergerak ke daerah menangani laporan pengaduan masyarakat yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007, MA menerima 504 pengaduan masyarakat, 1.909 pengaduan di 2008, dan pada September 2009 pengaduan sudah 2.098 buah.

Tuntutan akan transparansi pengadilan, baik putusan, pengelolaan keuangan, termasuk biaya perkara, dijawab dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Ketua MA Nomor 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Desk Informasi dibangun di MA. Pengadilan diwajibkan memuat alur perkara dan membuat sistem informasi yang bisa diakses pengunjung. Situs-situs pun dikembangkan.

Bukan fundamental

Gerak reformasi birokrasi selama dua tahun di MA ternyata dinilai tidak menghasilkan perubahan yang fundamental. Capaian-capaian yang sudah dilakukan dinilai belum menjawab kebutuhan publik.

Hal itu, antara lain, dikemukakan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, pegiat antikorupsi Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Saldi Isra dari Universitas Andalas, Padang, dan Zaenal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada.

”Belum ada perubahan yang substansial. Salinan putusan masih sulit didapat. Komisi Yudisial saja kesulitan, apalagi yang lain,” kata Busyro.

Busyro mengaku sulit memperoleh salinan putusan kasasi/peninjauan kembali dari MA. MA sering kali melempar/meminta KY ke pengadilan negeri setempat jika ingin meminta salinan putusan.

Juga substansi putusan hakim yang menurut Busyro masih jauh dari rasa keadilan. Putusan hakim belum mencerminkan adanya social empathy.

Mengenai sebaran situs pengadilan yang menjamur, Danang Widoyoko menilai bahwa hal tersebut belum menjawab kebutuhan pencari keadilan akan akses terhadap putusan dan informasi yang cepat.

”Itu cuma aksesori. Situs itu cuma sarana, yang terpenting adalah ketersediaan putusan. Putusan yang ada di situs adalah putusan lama. Perhatikan, ada updating putusan atau tidak,” kata Danang.

Seharusnya, tambah Danang, MA dan pengadilan-pengadilan di bawahnya meniru Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan selesai dibacakan, maka putusan sudah dapat diakses melalui situs MK. ”Janganlah kiranya MA ketinggalan terus,” ujarnya.

Sementara Saldi Isra mengakui adanya perkembangan positif di internal Mahkamah Agung, seperti dalam merespons Komisi Yudisial. MA mau bermitra dengan KY untuk menegakkan perilaku hakim seperti yang telah terungkap dalam penjatuhan sanksi kepada hakim melalui MKH.

Namun, secara keseluruhan Saldi berpendapat sama dengan orang-orang di atas. Belum ada perubahan signifikan. Dalam benak Saldi, sidang MA senantiasa terbuka. Putusan mudah dan cepat diakses.

Terkait dengan fakta tersebut, Busyro menyarankan agar pemberian remunerasi yang sudah dijalankan selama dua tahun ini ditinjau ulang. Harus dipikirkan ulang, apakah MA dan aparat pengadilan di bawahnya layak untuk menerima tunjangan kinerja khusus itu.

Adapun Ahmad Kamil setuju jika remunerasi ditinjau ulang. Namun, bukan untuk dihapuskan, tetapi ditingkatkan menjadi 100 persen. Baginya, sudah banyak yang dilakukan oleh MA.

Kesalahan paradigma

Zaenal Arifin Mochtar menilai, selama ini terjadi kesalahan paradigma dalam memaknai reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tidak identik dengan pemberian remunerasi.

Terkait pandangan itu, Wiwik Awiati dari Tim Pembaruan MA mengatakan, benar bahwa reformasi birokrasi tidak sama dengan remunerasi. Pemberian remunerasi sebenarnya hanya langkah awal menuju reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Pemberian remunerasi hanyalah untuk menyelamatkan para pegawai negeri sipil yang pendapatannya masih di bawah standar kebutuhan.

”Ini sebenarnya untuk mencegah corruption by need,” kata Wiwik. ***

Source : Kompas, Selasa, 22 Desember 2009 | 02:41 WIB

A A A

Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Danny @ Rabu, 23 Desember 2009 | 14:11 WIB
Kami sdh merasakan sangat memuaskan pelayanan di MA dan Peradilan, saya warga masyarakat mendukung perbaikan remunerasi di MA dan jajarannya.

Rudy Syamsumin, SH @ Rabu, 23 Desember 2009 | 14:09 WIB
Kami rasa, MA dan jajarannya sudah jauh lebih baik, transparan, pelayanannyapun sudah jauh memuaskan, jadi saya remunerasi sdh patut 100%.

cak dul @ Selasa, 22 Desember 2009 | 15:05 WIB
Joyoboyo, sekarang ini jaman edan jangan berharap penegakan hukum ada, dijamanya pemimpin yg punya ahiran kata Go-Ro (notogoro) hukum baru tegak

erlangga hadikusuma @ Selasa, 22 Desember 2009 | 14:34 WIB
Sebenarnya sudah banyak perubahan yang telah dilakukan MA dan jajaranya tapi kurang dipublikasikan, seda sehingga para pengamat menilainya selalu negatif terus.

Agung @ Selasa, 22 Desember 2009 | 10:43 WIB
Memang susah menegakkan hukum dengan perut kosong, seperti kekhawatiran coruption by need, Perubahan harus menyeluruh dan mendasar, dari penerimaan yang bersih.

nogenoge @ Selasa, 22 Desember 2009 | 08:19 WIB
Skala pemberian remunerasi antara pejabat dan para peg pd tingkat bawah (pelaksana) yg diskriminatif menjadi ganjalan reformasi birokrasi pada beberapa kasus.

Pelantikan 326 Anggota Panwas Pilkada Memicu Dualisme Panwas Pilkada

Muncul Dualisme Panwas Pilkada

JAKARTA - Pelantikan 326 anggota Panitia Pengawas Pemilu Kepala Daerah atau Panwas Pilkada oleh Badan Pengawas Pemilu pada pertengahan Desember lalu memunculkan dualisme Panwas Pilkada di sejumlah daerah.

Dualisme muncul karena sejumlah Komisi Pemilihan Umum daerah sedang melakukan proses seleksi Panwas Pilkada.

”Kalau sudah melakukan seleksi, KPU daerah harus mempertanggungjawabkan anggaran dalam APBD yang digunakannya. Nah, tiba-tiba proses rekrutmen itu dihentikan. Bagaimana pertanggungjawabannya,” ujar anggota KPU, I Gusti Putu Artha, di Jakarta, Senin (21/12).

Surat Edaran Bersama KPU dan Badan Pengawas Pemilu Nomor 1669/KPU/XII/2009 menyebutkan, bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir Agustus 2010, tetapi belum melakukan seleksi terhadap calon anggota Panwas Pilkada hingga 9 Desember, Panwas Pilkada diambil dari Panwas Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.

Sejumlah KPU daerah keberatan dengan pelantikan yang dilakukan oleh Bawaslu. Proses seleksi calon anggota Panwas Pilkada sudah dilakukan, minimal dengan membuka pengumuman proses rekrutmen itu di daerah. Namun, Bawaslu ternyata berpedoman bahwa proses seleksi itu harus sudah menghasilkan nama-nama calon anggota Panwas Pilkada yang siap diseleksi oleh Bawaslu.

Keluhan itu disampaikan Ketua KPU Kalimantan Barat AR Muzammil dan Ketua KPU Kalimantan Selatan Hairansyah secara terpisah.

Di Kalimantan Barat, dari enam kabupaten yang akan menggelar pilkada pada 19 Mei, yaitu Ketapang, Bengkayang, Sekadau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu, semua KPU kabupaten sudah mengajukan enam nama calon anggota Panwas dari setiap kabupaten yang siap diuji kelayakan dan kepatutan oleh Bawaslu.

Namun, Bawaslu ternyata melantik semua Panwas Pileg dan Pilpres di enam kabupaten itu sebagai Panwas Pilkada.

Kondisi serupa terjadi di Kalsel. Dari dua kota (Banjarmasin dan Banjarbaru) serta lima kabupaten (Hulu Sungai Tengah, Balangan, Kotabaru, Tanambumbu, dan Banjar), semua Panwas Pilkada-nya berasal dari Panwas Pileg dan Pilpres. Padahal, proses seleksi sudah dilakukan saat keputusan bersama itu muncul.

Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, mengatakan, dualisme Panwas Pilkada itu diduga terjadi karena kesalahpahaman dalam menerapkan Surat Edaran Bersama KPU dan Bawaslu. ”Sebelum melantik Panwas Pilkada, kami sudah menyisir semua data. Bahkan, Panwas Pilpres yang lalu sudah membuat pernyataan tertulis bahwa belum ada proses seleksi Panwas Pilkada di daerahnya,” katanya. (SIE/MZW)***

Source : Kompas, Selasa, 22 Desember 2009 | 03:49 WIB

Sejumlah Komisi Pemilihan Umum daerah di kabupaten dan kota di Jawa Timur menolak keberadaan Panitia Pengawas Pemilu Kepala Daerah

KPU Daerah Tolak Panwas Pilkada

JAKARTA - Sejumlah Komisi Pemilihan Umum daerah di kabupaten dan kota di Jawa Timur menolak keberadaan Panitia Pengawas Pemilu Kepala Daerah yang dilantik Badan Pengawas Pemilu pada 13 Desember 2009. Dengan demikian, pelaksanaan pilkada di daerah terancam tidak diawasi.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jember, Jatim, Ketty Tri Setyorini, Selasa (22/12), mengatakan, pihaknya telah bertemu dua komisioner KPU untuk menyampaikan penolakan terhadap Panwas Pilkada. Selain KPU Jember, tiga KPU kabupaten lain yang juga memiliki masalah terkait pembentukan Panwas Pilkada adalah KPU Kota Surabaya, KPU Kabupaten Lamongan, dan KPU Kabupaten Ponorogo.

Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengungkapkan, berdasarkan informasi yang dikumpulkannya dari sejumlah anggota Panwas Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres), janji untuk langsung melantik mereka menjadi Panwas Pilkada itu sering kali diucapkan anggota Bawaslu dalam evaluasi pengawasan pemilu yang dilakukan di sejumlah kota.

Namun, janji pelantikan langsung menjadi Panwas Pilkada itu dibantah Ketua Panwas Pemilu Banten Sys Dharnanto. Menurut dia, pelantikan langsung itu karena adanya Peraturan Bawaslu Nomor 15 Tahun 2009.

”Tugas Panwas tidak hanya mengawasi peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilunya, yaitu KPU. Keterlambatan pembentukan Panwas akan membuat tahapan awal pilkada tidak akan terawasi,” kata Sys.

Hal senada diungkapkan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina Sitorus. Bawaslu tidak pernah menjanjikan bahwa anggota Panwas Pileg-Pilpres akan langsung dilantik menjadi Panwas Pilkada karena mereka harus diklarifikasi terlebih dahulu. (MZW/SIE)
Source : Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 | 03:28 WIB



Hasil Survei Nokia Siemens Network Mengungkapkan, bahwa Sebagian Besar Penggunaan Teknologi Internet di Indonesia Tidak Produktif

Penggunaan Internet Tidak Produktif

JAKARTA - Sebagian besar pengguna teknologi internet di Indonesia tidak produktif karena memanfaatkan internet hanya untuk kebutuhan personal, tidak untuk menunjang produktivitas. Akibatnya, budaya konsumtif yang berkembang subur. Padahal tujuan penyediaan akses broadband adalah untuk mendukung produktivitas.

Demikian hasil survei yang dilakukan Nokia Siemens Networks dan dipaparkan oleh Market Intelligence di Nokia Siemens Networks, Yohanes Denny, Selasa (22/12) di Jakarta. ”Penggunaan internet di Indonesia sudah beralih menjadi orientasi gaya hidup,” kata Denny.

Hasil survei independen untuk mengetahui tren penggunaan jaringan internet kecepatan tinggi (broadband) tahun 2008-2010 menunjukkan rata-rata pemakaian akses internet untuk urusan personal 17 jam per minggu. Yang termasuk unik di Indonesia, kata Denny, para pengguna membuka internet di rumah dengan menggunakan telepon seluler.

”Perilaku orang Indonesia paling banyak everywhere user. Artinya, buka internet di mana pun dia berada dengan menggunakan segala macam akses, seperti fixed high speed access, mobile network, dan hotspot,” kata Denny.

Tren masyarakat untuk mengakses internet untuk kebutuhan personal, seperti situs jejaring sosial seperti Facebook atau hiburan seperti Youtube, sebenarnya bisa menjadi pasar potensial bagi operator atau industri kreatif untuk mengembangkan aplikasi buatan dalam negeri sehingga lebih produktif dan lebih menguntungkan ekonomi Indonesia.

Dari hasil survei juga diketahui, ternyata masyarakat tidak membutuhkan akses internet dengan kecepatan tinggi karena aktivitas masih berkisar di e-mail, unduh dan unggah data, video streaming, browsing, serta online game. ”Masyarakat tidak terlalu peduli pada kecepatan, lebih pada kenyamanan,” kata Denny.

Kecepatan

Kecepatan bukan segala-galanya. Ini ditekankan berkali-kali oleh Kepala Bagian Strategi dan Pengembangan Bisnis di Nokia Siemens Networks Salman Zafar. Sesuai perkembangan zaman, kini yang dibutuhkan justru aplikasi pendorong produktivitas dan bukan lagi kecepatan semata.

Denny menilai sudah saatnya operator menggandeng industri membuat aplikasi bandwith rendah, tetapi mendorong produktivitas. ”Jadi sebenarnya operator tidak perlu lagi genjot-genjotan kecepatan,” ujarnya. (LUK)
Source : Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 | 03:23 WIB

Jusuf Kalla Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Periode 2009 - 2015

Jusuf Kalla Terpilih Jadi Ketua Umum PMI

JAKARTA - Mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia untuk periode 2009-2015 pada Musyawarah Nasional Ke-19 Palang Merah Indonesia, yang berakhir Selasa (22/12) malam di Jakarta.

Jusuf Kalla terpilih karena ia merupakan satu-satunya calon ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI) untuk menggantikan Mar’ie Muhammad, yang sudah dua periode memimpin PMI.

”Terima kasih atas amanah yang diberikan kepada saya untuk memimpin PMI lima tahun ke depan,” kata Jusuf Kalla, yang datang setelah sidang paripurna selesai pukul 21.00 WIB.

Dalam sambutan singkatnya, Kalla mengatakan agar peran pengabdian PMI lebih ditingkatkan. Hal itu karena PMI adalah lembaga kemanusiaan yang dihormati oleh siapa saja. Tidak ada lembaga yang paling dihormati saat perang oleh kawan dan lawan, kecuali PMI.

”Lembaga terhormat ini untuk aktif memberikan jasa kemanusiaan bagi kemaslahatan orang banyak, harus menjadi institusi kemanusiaan yang kuat,” kata Kalla.

Keberadaan PMI di Indonesia yang berpenduduk 220 juta dan beberapa wilayah rawan konflik, lanjut Kalla, mempunyai arti sangat penting. ”Saya berjanji bekerja sebaik-baiknya dengan saudara-saudara,” ujarnya.

Selalu hadir

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membuka munas, Senin (21/12), mengatakan, sebagai sebuah organisasi kemanusiaan PMI selalu hadir dan tidak pernah absen, terutama di setiap kegiatan penanganan bencana.

”Ketika saya turun di bencana tsunami Aceh tahun 2004 lalu, yang pertama saya lihat di sana adalah PMI, lalu ada TNI, Polri, dan Taruna Siaga Bencana,” katanya.

Begitu juga saat konflik berkepanjangan di Aceh. PMI terlibat dalam proses damai saat itu. ”Saya ingat betul, pada tahun 2003, ketika pecah konflik yang melibatkan pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh, lagi-lagi PMI ikut serta mencari solusi dan pada akhirnya tawanan yang saat itu ditahan bisa dibebaskan,” katanya mengenang.

Presiden berharap PMI menjadi bagian dalam Satuan Tugas Bencana dan hadir secepat-cepatnya untuk menyelamatkan banyak nyawa manusia.

Mantan Ketua Umum PMI Mar’ie Muhammad berharap PMI ke depan bisa berbuat lebih banyak, lebih baik, dan tentunya lebih cepat.

Mar’ie juga meminta pemerintah untuk dapat mempercepat proses pembentukan Rancangan Undang-Undang Lambang Palang Merah menjadi UU.

Munas XIX PMI ditutup Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. (NAL)

Source : Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 | 03:43 WIB




 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template