CARI BERKAH KLIK DI SINI

13 April 2011

BENANG MERAH : "Menguapnya Anggaran Lahan Pemakaman"

Rabu,

13 April 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

BENANG MERAH



Menguapnya Anggaran Lahan Pemakaman

CIREBON, PENDOPO INDRAMAYU ONLINE

Modus kasus dugaan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) di Kota Cirebon semakin nekat saja. Bagaimana tidak, dana yang semestinya buat keperluan orang-orang yang sudah meninggal pun diduga dikorupsi

Seorang developer wajib menyediakan dua persen dari total tanah yang akan dikembangkannya untuk Tempat Pemakaman Umum (TPU) sebagai bagian fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Ini digariskan dalam permendagri No.9 tahun 1987 dan Kepmen PU No. 378 Tahun 1987. Foto-foto: Kabar Cirebon, Selasa 12 April 2011***

Namun faktanya hal itu terkadang diabaikan oleh pengembang. Alhasil, pemerintah pasti dongkol karena ulah nakal pengembang demikian. Sedangkan warga yang tinggal di sebuah kawasan perumahan tentu saja rugi berlipat. Di satu sisi mereka dituntut membayar kewajibannya, namun di lain pihak fasilitas yang seharusnya diberikan pengembang tak kunjung tersedia. Uang hilang, fasilitas tak kunjung datang.

Tak hanya itu, pemerintah pun terancam kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) atas realitas demikian. Kenapa bisa?

Kabar Cirebon (“KC”) memperoleh data, jika seorang developer tidak bisa menyediakan dua persen dari total lahan di lokasi proyek perumahannya buat TPU, maka dia bisa mengambil cara lain. Yakni, seorang developer bisa membeli kaveling di sebuah TPU yang telah ada sebelumnya di luar kompleks.

Kalaupun enggan menempuh cara ini, developer bisa mengambil alternatif lain yaitu membayar dana kompensasi kepada pemerintah setempat. Besarnya dua persen dari total harga tanah di kompleks perumahan. Atau sederhananya, besaran dana kompensasinya seharga nilai jual lahan yang luasnya dua persen itu.

Selanjutnya dana kompensasi dua persen tersebut harus dibayarkan pengembang kepada pemerintah. Infonya, penyerahan dana ini kepada pemerintah melalui kordinator para pengembang di wilayah setempat.

Namun belakangan terungkap, dana kompensasi sebanyak dua persen tersebut selama beberapa tahun terakhir tidak jelas keberadaannya. Padahal, dalam rentang waktu itu puluhan komplek perumahan berdiri di Kota Udang. Kontan dana kompensasi bernilai ratusan juta bahkan miliaran rupiah yang semestinya menambah pundi-pundi PAD, diduga menguap. Hanya satu yang pasti, penilap uangnya bisa dituduh korupsi karena jelas-jelas telah memakan uang yang semestinya menjadi milik negara.

Penegak Hukum

Fakta mengejutkan terungkap saat DPRD Kota Cirebon membentuk Pansus Raperda Pemakaman. Saat itu ada pengembang yang mengaku telah menyerahkan dana kompensasi TPU buat pemerintah melalui REI (Real Estate Indonesia) Cabang Cirebon. Pengakuan tersebut disampaikan pengembang dari Pegambiran Residence.

Realitas di atas dibenarkan Ketua Pansus Pemakaman DPRD Kota Cirebon, Taufik Pratadinata. Menurut politisi PKS ini, pihaknya sudah melakukan penelusuran di lapangan dan menemukan fakta-fakta baru terkait ketidakjelasan dana kompensasi dari pengembang.

“Memang betul kami mendapatkan informasi dari pengembang langsung kalau mereka sudah membayar dana kompensasi TPU dan itu telah diberikan ke pihak REI,” katanya.

Pihaknya mengaku telah menghubungi REI, tapi mereka kerap mangkir meski diundang Tim Pansus untuk memberikan klarifikasi terkait tudingan negatif yang selama ini dialamtkan kepada organisasi bersangkutan.

“Kita sudah kesal terhadap pihak REI yang tidak kooperatif terhadap pemanggilan kami. Padahal tujuan kami baik, hanya untuk meminta keterangan mengenai penjelasan penggunaan anggaran itu,” kata Taufik

Dengan tidak adanya kejelasan dari pihak REI, sambung dia, ini akan melahirkan prasangka negatif yang harus segera ditepis. Terutama penggunaan anggaran dari setiap pengembang yang diperkirakan mencapai ratusn juta bahkan miliaran rupiah, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ke publik.

Anggota DPRD lainnya, Iding Hendriana, mengatakan, jika pihak REI tetap bersikukuh tidak hadir untuk memberikan keterangan, maka pihaknya berencana membuat surat rekomendasi buat aparat penegak hukum agar melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi dana kompensasi TPU.

Pada bagian lain Iding memaparkan, pengembang diwajibkan penyediakan fasos dan fasum. Khusus untuk areal pemakaman, penyediaannya disesuaikan dengan jumlah penduduk. Misalnya di kompleks berpenduduk 10.000, harus ada TPU-nya. “Mengenai lokasinya tidak harus di areal proyek, tapi bisa dengan membeli lahan di sekitar TPU yang ada. Atau dengan cara memberikan dana kompensasi kepada pemerintah setempat,” paparnya.

Lalu apa tanggapan pemerintah terkait kasus menghebohkan tersebut? Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon, Eddy K, mengaku tidak mengetahui adanya aliran dana dari setiap pengembang sebesar dua persen itu. “Mohon maaf dinas kami tidak menerima dana dari pengembang. Yang ada itu dana dari retribusi pemakaman milik pemkot seperti Makam Kedung Menjangan, Makam Sunyaragi dan Makam Kemlaten. Selain itu tidak ada,” ujar Eddy.

Memang idealnya dalam aturan, jika pengembang tidak mampu menyediakan lahan dua persen untuk TPU, penggantinya berupa dana kompensasi. Itu harus diserahkan dulu ke Pemkot Cirebon melalui dinas terkait. “Tapi kami di DKP tidak menerima dana tersebut,” katanya sembari menyarankan “KC” agar menghubungi Bappeda Kota Cirebon dan Bidang Anggaran Eksekutif/Legislatif untuk memastikan ada atau tidaknya dana kompensasi terkait.

Di tempat terpisah, Kepala Bidang Perencanaan dan Pembangunan Bappeda Kota Cirebon, Yoyon Indrayana menyatakan, pihaknya tidak pernah menerima dana kewajiban dari setiap pengembang. “Kalau wacana dua persen itu sudah sejak lama digulirkan oleh Pemkot Cirebon. Namun dalam realisasinya tidak jelas. Alasannya kami juga kurang mengetahui secara pasti,” ujarnya.

Dibantah

Dihubungi secara terpisah, Ketua REI Cabang Cirebon, Surya Wijaya membantah tudingan miring yang dialamatkan kepada organisasinya. “Kami tidak pernah menerima dana fasos dan fasum dari pengembang terkait dana TPU. Itu tidak benar,” kilahnya.

Surya hanya mengaku telah menyalurkan dana fasus dan fasum sesuai dengan peruntukkannya, tapi bukan untuk TPU. “Mohon maaf kami tidak mengelola atau mengkoordinir dana dari pengembang. Silahkan saja cek satu persatu,” katanya.

Tapi saat “KC” melakukan penelusuran di lapangan, ternyata paparan Ketua REI itu bertolak belakang dengan keterangan seorang pengembang. “Sebagai pengembang kami sudah membayar kewajiban lahan untuk fasos dan fasum. Untuk dana dua persen (kompensasi TPU) itupun sudah kami berikan ke REI selaku koordinator pengembang di wilayah Cirebon,” ujar salah seorang pengembang yang meminta namanya dirahasiakan.

Dijelaskannya, dana kompensasi itu sudah lama diberikan olehnya ke REI dengan nilai cukup fantastis, karena lahan yang dikembangkannya cukup luas. “Kami juga tidak tahu dana itu dipergunakan untuk apa, yang pasti kewajiban kami sudah diserahkan kepada REI,” tukasnya.

Saat ditanya mengapa lahan yang dikembangkannya tidak memiliki TPU, sumber tadi mengatakan, karena pada umumnya warga yang tinggal di sebuah kompleks perumahan, merasa keberatan jika tempat tinggalnya memiliki TPU dengan alasan yang beragam.

“Mungkin hampir mayoritas perumahan yang ada saat ini tidak memiliki TPU. Sebagai penggantinya, pengembang biasanya memberikan dana kompensasi melalui koordinator di wilayahnya,” ucapnya.

Atas semua persoalan di atas, Ketua LSM Suara Kami, Deni Yulian ikut bicara. Katanya, lemahnya pengawasan terhadap belasan bahkan puluhan pengembang perumahan yang tidak melaksana kewajibannya menyediakan fasum dan fasos, tak terkecuali TPU, menandakan buruknya kinerja Pemkot Cirebon melalui dinas terkait.

Jika fungsi pengawasan dan kontrol berjalan efektif, dugaan menguapnya dana kompensasi TPU tidak mungkin terjadi. “Ini tidak boleh dibiarkan dan harus segera diselidiki oleh aparat penegak hukum,” tuturnya.

Apabila dana tersebut nantinya terbukti disalahkan gunakan, katanya, itu bisa diakibatkan adanya tindakan sejumlah olnum aparat yang dengan sengaja mengabaikan hukum. “Pasalnya, dalam aturan lain disebutkan penyerahan lahan untuk keperluan TPU kepada pemerintah daerah dilaksanakan pada waktu pengajuan site plan,” paparnya.

Akhirnya, sekarang masyarakat sedang menunggu sikap aparat penegak hukum untuk segera bertindak. Tak hanya agar masyarakat yang masih hidup tenang, namun agar arwah orang-orang yang telah lama meninggalpun tenang di alam kuburnya. ***

Tim Peliput: Epih Pahlavi, Jejep Palahul Alam dan Toni. Koordinator: Raharja

Source : www.realitanusantara.blospot.com, Rabu, 13 April 2011

BENANG MERAH : "Kongkalingkong Bisnis Buku LKS"

Rabu,

13 April 2011

PENDOPO INDRAMAYU ONLINE




Illustasi : Foto-foto Istimewa dari berbagai sumber.***

"BENANG MERAH" BISNIS BUKU LKS

Kongkalingkong Bisnis Buku LKS

BUKU Lembar Kerja Siswa (LKS) kini seolah jadi ladang bisnis para guru, kepala sekolah (SD/SMP) sampai UPTD Dinas Pendidikan. Bila proses pengadaan buku bersangkutan murni tanpa embel-embel kongkalingkong berbau gratifikasi mungkin masih dimaafkan orangtua siswa, namun yang terjadi justeru sebaliknya.

Penelusuran Kabar Cirebon di lapangan menunjukkan masuknya buku LKS dari penerbit melalui distributor seolah menjadi “kue” yang bisa dinikmati bersama. Karena manisnya kue itu, minimal keuntungan yang didapat dari penjualan buku kepada siswa bisa berlipat-lipat. Hampir semua pihak di sekolah menikmati keuntungan. Tak terkecuali sekolah-sekolah yang ada di Kota Cirebon.

Untuk satu buku LKS di tingkat SD dijual kepada siswanya rat-rata seharga Rp 8.000/mata pelajaran. Padahal buku ini sebelumnya di tingkat distributor harganya hanya Rp 2.300. Lalu kemana selisih Rp 5.700 mengalir ? Ternyata, Rp 3.500 masuk kantong kepala sekolah dan guru. Yang Rp 2.200 lagi dinikmati UPTD.

Lain lagi di SMP, LKS yang dijual sekolah kepada siswanya sebesar Rp 8.000/eksemplar untuk semua mata pelajaran. Dari hasil penjualan itu, setiap sekolah rata-rata mendapat keuntungan Rp 3.800/eksemplar dari selisih antara harga distributor dengan nilai jual ke siswa (setelah dipotong keuntungan buat UPTD).

Lain lagi fee yang diminta kepala sekolah SMP sebesar Rp 30-35 juta/tahun sebagai jasa atas dibantunya penjualan buku LKS kepada anak didiknya. Rupanya, keuntungan sebesar ini telah membutakan mereka atas adanya larangan dari Kemendiknas dan juga KPK, atas perilaku negatif mengecer buku LKS di atas (baca juga “Bukan Cerita Sinetron”).

“Zaman saya tidak sampai sebesar itu, tapi memang ada keuntungan yang bisa dinikmati, baik untuk guru, bagian umum maupun kepala sekolah. Setahun bisa menikmati dua kali keuntungan dari penjualan buku LKS. Untuk satu semester hasil penjualan mencapai Rp 100 juta. Sementara keuntungan satu jenis buku bisa Rp 3.000,” kata seorang kepala SMP Negeri yang enggan disebutkan jati dirinya.

Pembelaan apa pun yang terlontar dari sekolah, tetap saja persoalan penjualan buku LKS telah membuat berang orangtua siswa. “Percuma saja sekarang ada kebijakan sekolah gratis, kalau murid masih saja dibebankan membeli buku. Dimana hati nurani para pendidik kita ?,” ujar Izudin, bapak dari dua orang anak yang sekolah di SD dan SMP.

Modus Gratifikasi

Diperkirakan keuntungan langsung yang dinikmati per sekolah dari penjualan buku LKS untuk semua mata pelajaran sangat besar. Bagaimana tidak, bila keuntungan per buku sekian lalu dikalikan jumlah siswa dan jumlah mata pelajaran, maka akan didapat rupiah dengan nilai tinggi. Bisa puluhan juta.

Itu baru satu sekolah, lalu bagaimana kalau keuntungan per sekolah dikalikan lagi dengan total sekolah yang ada di Kota Cirebon ? Uang yang berbau Gratifikasi tadi bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahun.

Bila ditarik dari sekolah saja, untuk seorang siswa SD ada delapan buku LKS yang harus dimiliki, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, PKn, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Sunda. Begitu juga untuk seorang siswa SMP ada sekitar 13 buku LKS, terdiri dari Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, PKn, Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon, Budi Pekerti, Bimbingan Konseling, TIK, Pendidikan Agama Islam, dan Seni Budaya.

Jika begitu, lalu pantas saja keuntungan bisa berlipat. Apalagi penjualan buku LKS di setiap sekolah dilakukan dua kali dalam setahun atau setiap anam bulan (satu semester). Penyusun LKS di masing-masing penerbit sengaja membuat masa manfaat buku LKS hany enam bulan. Ironisnya, setiap enam bulan sekali siswa harus memiliki buku LKS.

Kontan saja realitas ini mebuat sekolah dan oknum kepala sekolah dan guru bisa bernafas panjang guna mengeruk keuntungan. Karena bagaimana pun juga, laba atau fee dari menjual LKS ini begitu manisnya, sehingga bisa dirasakan semua pihak. Bak mata rantai yang tak terpisahkan.

Pola yang demikian memang sulit dihindarkan. Pasalnya, di tingkat SD, distributor tak bisa seenaknya masuk menjual buku langsung ke sekolah hanya dengan menemui kepala sekolah. Lalu modus seperti apa yang bisa dipakai para pelaku praktik gratifikasi mengarah korupsi pada tingkat praktik jual-beli LKS tersebut ?

“Rata-rata sulit kalau langsung menemui kepala sekolah, justeru kepala sekolah tidak mau menerima. Setelah dikomunikasikan dengan Kepala UPTD Pendidikan, bisa masuk kembali ke sekolah,” kata salah seorang distributor buku LKS yang enggan disebutkan jati dirinya.

Jalan pintas yang bisa dilakukan distributor agar buku-bukunya bisa terjual hanya melalui cara menemui Kepala UPTD Pendidikan di setiap kecamatan. Setelah mendapat restu dan “dikondisikan” UPTD, buku LKS bisa dengan mudah didistribusikan atau dipasarkan di SD.

“Buku dijual Rp 8.000/eksemplar kepada siswa. Disetorkan dari sekolah ke distributor Rp 4.500, dari distributor ke penerbit Rp 2.300. Sedangkan ke UPTD Rp 2.200/eksemplar. Jika setiap UPTD jumlah siswa rata-rata 8.000 dan membeli lima mata pelajaran, maka bisa mendapat Rp 96 juta per semester. Belum lagi selisih antara harga jual dengan pengembalian ke distributor Rp 3.500/eksemplar yang menjadi keuntungan sekolah,” papar sumber tadi.

Lain lagi dengan jalur perdagangan buku LKS di tingkat SMP. Pintu masuknya, distributor langsung menemui kepala sekolah. Misalnya dengan harga jual buku Rp 8.000/eksemplar, maka sekolah menyetrokan hasil penjualan kepada distributor Rp 4.200/eksemplar. Di sini ada keuntungan di luar kewajiban untuk menyerahkan ke distributor yaitu Rp 3.800/eksemplar. Penghitungan harga jual Rp 8.000 dikurangi Rp 4.200.

Ironisnya, sebelum seluruh buku yang masuk laku terjual, kepala sekolah telah meminta uang pembagian di muka yang besarnya Rp 35 juta/tahun.

Sistem bagi-bagi untung tersebut, masih kata distributor tersebut, sudah merupakan gejala umum di Wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Bahkan telah berlangsung lama.

“Sudah terjadi sejak 2005 sistem seperti itu,” katanya yang menyebutkan ada 25 distributor LKS di Wilayah Ciayumajakuning.

Kalau saja sekolah tidak “mencekik” harga buku LKS setiap mata pelajaran yang dijual kepada anak didiknya cukup dihargai Rp 5.000, sekolah maupun UPTD masih dapat menikmati keuntungan. “Toh harga LKS dari penerbit Rp 2.100 – Rp 2.300 per buku,” ujar sumber penerbit lainnya.

Dengan sekolah atau UPTD tak mencekik harga, anak didik tidak terasa begitu berat untuk membeli satu paket LKS. Apalagi, bagi anak didik yang berasal dari keluarga kurang mampu. Belum lagi nanti di tahun ajaran baru 2011-2012 mendatang. Harga pokok buku LKS akan mengalami kenaikkan.

Sumber Kabar Cirebon dari salah satu penerbit menyebutkan kenaikkan harga setiap buku sebesar Rp 100. Rinciannya, untuk LKS 60 halaman dari Rp 2.100 menjadi Rp 2.200, 80 halaman dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.600, dan 90 halaman dari Rp 2.900 menjadi Rp 3.000.

Dilarang

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP/MTs Kota Cierbon, Agus Sunandar secara terpisah mengatakan, sebetulnya ada ketentuan sekolah yang tidak boleh menjual buku, termasuk LKS. Namun rata-rata yang terjadi di lapangan dari distributor langsung ke sekolah agar buku bisa terjual.

“Sepengetahuan saya, kedatangan distributor langsung ke kepala sekolah itu karena buku LKS akan dipasarkan melalui koperasi. Jadi rata-rata penjualan buku LKS langsung melalui koperasi dan sudah pasti ada rabat yang didapat. Nanti keuntungannya tetap dirasakan para guru dan kepala sekolah dalam bentuk sisa hasil usaha (SHU),” kata Agus.

Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Pendidikan, Jaja Sulaeman juga mengatakan, sekolah pada dasarnya dilarang bertindak menjadi distributor, apalagi pengecer buku kepada peserta didik di sekolah bersangkutan. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 11 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 2 tahun 2008.

“Bagaimana pun yang namanya jual-beli pasti ada untung. Jadi seharusnya sekolah tidak boleh menjual buku, termasuk LKS. Aturannya sudah cukup jelas,” katanya.

Karena itu, pihaknya akan membuat langkah berupa pengkajian masih layak atau tidak keberadaan LKS di sekolah dengan melakukan kajian melibatkan pengawas sekolah.

Pihaknya belum bisa memutuskan pelarangan atau menghentikan masuknya LKS ke sekolah-sekolah hanya karena keputusan yang terburu-buru. “Khusus untuk UPTD yang memang seperti disebutkan, kami akan memanggilnya,” tegas Jaja. ***

MASALAH SEKOLAH JUAL BUKU LKS

Bukan Cerita Sinteron

ORANGTUA murid seketika bereaksi setelah mendengar Kepala SMP Negeri 1 Kota Cirebon, Tusman mengeluarkan kebijakan menghentikan distribusi buku lembar kerja siswa (LKS) dari distributor yang sejak lama “setia” bersama. Mereka khawatir dengan nasib (kemampuan-Red) anaknya dalam penguasaan materi pelajaran akibat tak diperbolehkannya menggunakan LKS. Tak ayal, sebagian dari orangtua memprotes langsung kepada Tusman.

Kisah itu menjadi pengalaman tersendiri bagi Tusman di awal-awal dirinya memimpin SMP Negeri 1. Namun beruntung protes orangtua tak sampai berlanjut seperti cerita dalam sinetron. Karena apa yang terjadi benar-benar kisah sejati, bukan cerita sinetron di televisi.

Semua berakhir positif, setelah Tusman memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dan tujuan dihentikannya penggunaan LKS bagi seluruh siswa.

Menurut Tusman, dikeluarkannya kebijakan tak lagi menggunakan LKS bagi seluruh anak didiknya karena merujuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2 tahun 2008. Dalam pasal 11 peraturan ini disebutkan, sekolah dilarang menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di sekolah yang bersangkutan.

Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan pasal 11 tersebut sebagai tagline dalam signboard yang dipasang di sejumlah sekolah penerima BOS untuk menjadi perhatian. “Sudah jelas aturannya, sehingga kami tidak berani menggunakan LKS. Dan saya sudah menyampaikan langsung kepada seluruh guru agar tidak lagi menggunakan LKS,” kata Tusman.

Pihaknya tak ingin menanggung risiko jika harus memilih kebijakan tetap menggunakan buku LKS yang dipasarkan distributor. Apalagi, dalam signboard, KPK mebuka layanan pengaduan yang bisa diakses melalui telepon atau pesan singkat jika diketahui sekolah menjadi distributor atau pengecer buku.

Selain karena aturan tersebut, Tusman melihat juga bahwa tanpa adanya buku LKS pun ternyata kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran tak berpengaruh. Sejak sat itu, SMP Negeri 1 tak lagi menggunakan LKS bagi anak didiknya.

“Kegiatan belajar mengajar tetap efektif tanpa LKS. Bahkan, lebih baik lagi tanpa LKS,” ujar Tusman.

Untuk memperdalam dan mengukur kemampuan masing-masing siswa dalam penguasaan materi ajar bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya memanfaatkan teknologi informasi dan komputerisasi. Siswa bisa download dari internet dan buku-buku dari Dirjen khusus RSBI.

“Jadi banyak sarana yang dimiliki sekolah untuk membantu meningkatkan kemampuan siswa,” katanya.

Nilai positif lain dengan tidak lagi menggunakan LKS, Tusman dapat memberikan peluang kepada guru agar lebih kreatif dan mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki. Khususnya dalam menyusun modul pembelajaran yang memudahkan anak didik mengenai materi ajar. Buah pemikiran guru itu selanjutnya ditransfer kepada anak didik di semua tingkatan.

Malas

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Dewan Pendidikan Kota (DPK) Cirebon, M. Rafi justeru menilai adanya LKS di sekolah membuat guru menjadi malas mengajar, kurang inovatif dan kreatif serta mebuat siswa menjadi pandai mencontek.

Keberadaan buku LKS juga tidak sejalan dengan program sertifikasi profesi guru yang mendorong semangat (guru) lebih kreatif dan inovatif dalam mencerdaskan anak didik.

“Jadi sudah seharusnya seluruh sekolah tidak perlu lagi menggunakan LKS karena tidak efisien,” tandas Rafi.

Sebaliknya, menurut Rafi, upaya guru menciptakan anak didik yang berkualitas dan berdaya saing dapat dilakukan dengan menciptakan sendiri lembar kerja seperti yang dulu pernah dilakukan. Cara ini menjadikan guru lebih kreatif dan inovatif tanpa menggantungkan pada keberadaan LKS yang dijual distributor. ***

Laporan : Epih Pahlavi, Jejep Palahul, dan Toni.

Koordinator Raharja

Source : Kabar Cirebon, Rabu (Legi), 13 April 2011 (8 Jumadil Awal 1432 H) Hal. 9

Illustrasi : Foto-foto istimewa dari berbagai sumber.***

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template