CARI BERKAH KLIK DI SINI

21 April 2010

Pilkada Indramayu Kemungkinan Dua Putaran

Panwas Belum Terbentuk

Pilkada Indramayu Kemungkinan Dua Putaran

INDRAMAYU - Dua pekan menjelang pelaksanaan tahapan pemilu kepala daerah atau pilkada Kabupaten Indramayu, Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada tingkat kabupaten belum terbentuk. Dikhawatirkan, ketiadaan Panwas ketika tahapan pilkada dimulai, Mei 2010, akan berbuntut panjang dan menjadi tidak sah.

Menurut Madri, Ketua Divisi Penyelenggaraan Pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indramayu, seharusnya, berdasarkan jadwal, Panwas tingkat kabupaten telah terbentuk sebelum KPU menyeleksi dan membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).

Tujuannya, dari awal hingga akhir tahapan, ada Panwas yang memantau dan mengontrol jalannya pilkada di Indramayu sesuai UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. "Kami khawatir jika dalam proses tahapan tidak ada (belum terbentuk) Panwas, hal tersebut akan menjadi celah bagi calon yang kalah untuk mempermasalahkan hal ini pada kemudian hari," kata Madri, Selasa (20/4).

Sebelumnya, pada Maret KPU telah menyerahkan enam nama calon anggota Panwas Kabupaten Indramayu kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun, hingga akhir April, enam orang itu belum juga menjalani uji kepatutan dan kelayakan oleh Bawaslu. Alasan penolakan Bawaslu adalah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), KPU tidak berhak lagi mengajukan calon anggota Panwas.

Namun, Madri menjelaskan, enam calon anggota Panwas tingkat kabupaten itu selesai menjalani tes tertulis sebelum ada putusan MK, 18 Maret. Karena itu, KPU Indramayu tetap berinisiatif mengajukan nama-nama calon anggota Panwas ke Bawaslu. Menyikapi hal itu, Ketua KPU Indramayu Khotibul Umam, kemarin, menemui Bawaslu di Jakarta untuk meminta kejelasan status calon anggota Panwas yang diajukannya.

Selain terganjal belum terbentuknya Panwas, proses pilkada Indramayu berjalan sesuai jadwal. KPU menetapkan 155 anggota PPK, dan sedang menyeleksi lebih dari 1.000 orang untuk menjadi anggota PPS sebanyak 945 orang. Tahap selanjutnya, awal Mei, adalah pelantikan seluruh anggota PPK dan PPS, dilanjutkan pengumuman pendaftaran calon bupati-wakil bupati Indramayu.

Dua putaran?

Melihat antusiasme bakal calon yang berminat menjadi peserta pilkada Indramayu 2010, sedikitnya sudah ada tiga nama usungan partai politik dan tiga nama calon perseorangan, kemungkinan pilkada akan dilakukan dua putaran. Adapun anggaran yang tersedia, Rp 21,22 miliar, hanya untuk satu putaran.

Khotibul mengatakan, saat ini KPU fokus menyelenggarakan putaran pertama. Apabila setelah hari pemungutan suara, 18 Agustus, ada indikasi putaran kedua terjadi, barulah KPU Indramayu mulai menyusun dan mengajukan anggaran untuk putaran kedua. Kisarannya sekitar Rp 9 miliar-Rp 10 miliar.

Madri menjelaskan, meski berisiko karena KPU Indramayu hanya menerima dana untuk putaran pertama, KPU Indramayu dengan Pemkab Indramayu, bahkan dengan DPRD Indramayu, telah bersepakat dan saling memercayai. Pemkab Indramayu berjanji menyediakan dana jika sampai terjadi putaran kedua. Setidaknya, dana itu telah tersedia sebulan setelah putaran pertama selesai. (THT/Kompas) ***

Source : Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 13:46 WIB

PILKADA INDRAMAYU : Melepaskan Bayang-bayang Suami

Bupati Indramayu didampingi Istrinya, H. Irianto MS Syafiudin dan Hj. Anna Shopanah. (Foto : realitaspublik.blogspot.com)***

PILKADA

Melepaskan Bayang-bayang Suami

Mungkin terlalu muluk jika membandingkan Anna Sophana, istri Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin saat ini, dengan Hillary Rodham Clinton, istri mantan Presiden Amerika Serikat dua periode, Bill Clinton. Keduanya pernah, atau sedang, mempertaruhkan reputasi dan kemampuan dalam pencalonan sebagai kepala daerah, atau kepala negara.

Anna hanya berlaga dalam pemilihan kepala daerah, sedangkan Hillary bertarung habis-habisan dalam pemilihan kandidat presiden dari Partai Demokrat di AS. Akan tetapi, tak ada salahnya jika kiprah mantan ibu negara AS itu menjadi pembelajaran bahwa seorang perempuan juga memiliki hak dan kesempatan sama dalam dunia politik, seperti halnya laki-laki.

Namun, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Wiralodra Indramayu Leli Salman Al-farizi berpandangan, gerak politik kaum hawa di Indramayu relatif berat jika dibandingkan kaum laki-laki. Hal itu dipengaruhi faktor budaya dan sosial yang berkembang di masyarakatnya, yakni memosisikan perempuan sebagai warga kelas dua. Perempuan di Indramayu juga dianggap sebelah mata dengan citra mereka yang selama ini "miring" di mata khalayak.

Selama ini pun, politikus perempuan di Indramayu yang terpilih mewakili konstituen mereka di lembaga legislatif tidak terlepas dari bayang-bayang sosok suami atau orangtuanya yang punya jabatan strategis di pemerintahan atau dunia politik. Latar belakang keluarga dan modal sosial adalah aset terbesar yang jadi penyokong politikus perempuan di Indramayu berhasil menempati posisi saat ini.

Mulusnya langkah Anna mencalonkan diri sebagai bupati Indramayu 2010-2015 lebih karena faktor suami yang kini masih menjabat sebagai bupati Indramayu selama dua periode. Kekuatan dan kharisma Yance, panggilan akrab Irianto MS Syafiuddin, masih diperhitungkan calon pemilih dan kader Partai Golkar.

Mendobrak

Apabila hanya mengandalkan "kekuatan" sendiri sebagai ketua penggerak PKK Indramayu dan anggota DPRD Indramayu dari daerah pemilihan II, itu relatif berat baginya mendulang 30 persen suara dari 1,35 juta calon pemilih. Jumlah pemilih perempuan diperkirakan 684.200 orang. Namun, itu tidak bisa jadi jaminan semuanya akan memilih Anna jika kerja mesin politiknya dari tingkat kecamatan hingga desa tak ekstra giat bekerja.

Kegiatan Anna selama ini bergerak pada bidang sosial. Sebagai anggota DPRD, dia baru bekerja kurang dari enam bulan. Kualitas mobilitas politiknya masih menjadi pertanyaan banyak orang yang menginginkan Indramayu berubah menjadi lebih baik.

Leli menambahkan, kualitas dan kapasitas calon memang bukan sesuatu yang ditonjolkan dalam tradisi pilkada. Yang penting, calon menang dulu, sedangkan urusan program kerja dan visi-misi pembangunan urusan nanti.

Jika dalam pilkada Agustus nanti calon perempuan yang diusung partai berlambang pohon beringin ini bisa membuktikan kemenangannya (selama ini) di atas kertas, itu tentu saja akan jadi momentum pendobrak budaya politik di Indramayu. Kemenangannya bakal mengubah peta perpolitikan Indramayu yang didominasi politikus laki-laki. Tapi, sudahkah politikus perempuan Indramayu bisa lepas dari bayang-bayang suami? (TIMBUKTU HARTHANA/KOMPAS) ***

Source : Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 13:47 WIB

Muhammadun AS : Pilkada dan Mangkunegara IV

Pilkada dan Mangkunegara IV

Oleh Muhammadun AS

Tahun 2010 ini, beberapa daerah di Jawa Tengah menggelar pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah. Slogan, selebaran, spanduk, dan berbagai atribut komunikasi publik bertebaran sampai ke pelosok desa. Mesin politik masing-masing calon mulai gerilya. Politik tebar pesona, tak pelak, hadir di semua lorong Jateng. Janji diobral bagai pakaian rombengan.

Slogan-slogan yang cerdas dan ndakik bertebaran di sudut kota dan desa. Semua bergemuruh riuh menghadapi pesta demokrasi untuk memilih pemimpin daerah masing-masing.

Dalam momentum sekarang, menarik kalau warga Jateng menengok kembali peran strategis sosok bernama Mangkunegara IV. Beliau adalah sosok pemimpin di masa kolonial yang dengan teguh memperjuangkan nasib kesejahteraan warga Mangkunegaran dan sekitarnya. Ketika itu, tepatnya pascaberakhirnya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1870, pemerintah kolonial memberikan kebebasan kepada pengusaha swasta. Pengusaha Barat berbondong-bondong mendatangi Nusantara untuk menanam modal, baik dalam budidaya kopi, tembakau, dan tebu dengan cara menyewa tanah dari para bangsawan dan pejabat Mangkunegaran.

Mangkunegara IV yang memegang amanah kekuasaan gelisah. Baginya, ada ancaman serius bagi warga Mangkunegaran ketika sumber daya alam yang melimpah akan dikuasai oleh pihak "asing". Karena itu, beliau mendirikan pabrik gula di Colomadu dan di Tasikmadu. Dari pabrik inilah, beliau meningkatkan penghasilan kerajaan dan penghasilan rakyatnya.

Dalam analisis Wasiono (2007), spirit pemberdayaan Mangkunegara IV dibuktikan dengan upaya industri gula dalam mendirikan pusat- pusat pendidikan dan pusat kesehatan masyarakat. Dalam hal pendidikan, Mangkunegaran waktu itu masih terbelakang. Lembaga pendidikan sekolah hanya terdapat di Kota Surakarta. Dalam laporan umum Surakarta tahun 1873 menyebutkan, di Kota Surakarta hanya terdapat dua sekolah, yaitu Sekolah Dasar Eropa dan Sekolah Dasar Bumi Putra. Dari keuntungan industri gula, didirikan sekolah. Dalam laporan umum Surakarta tahun 1879 menyebutkan, sekolah swasta milik Adipati Harya Mangkunegara rata-rata dikunjungi oleh 159 murid.

Sekolah-sekolah Mangkunegara berkembang pesat pada awal abad XX sejalan dengan kebijakan politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Tahun 1912 didirikan sekolah siswa. Sekolah ini tahun 1912 diubah menjadi sekolah dasar angka I dan tahun 1914 diubah lagi menjadi Hollandsch Indlandsche School (HIS) Siswa atau Sekolah Dasar Bumi Putra Siswa. Untuk mengakomodasi kepentingan perempuan maka didirikanlah sekolah Siswa Rini tahun 1912.

Untuk meningkatkan kesehatan penduduk di wilayah Mangkunegaran, awal abad XX didirikanlah poliklinik-poliklinik. Poliklinik ini dibangun pemerintah Mangkunegaran, Zending, dan pabrik gula. Di Kabupaten Kota Mangkunegaran dibangun dua poliklinik, yakni di Karanganyar dan Karangpandan. Poliklinik yang dibangun Zending berada di Kartasura, wilayah Kasunan. Sementara itu, poliklinik yang dibangun pabrik gula adalah poliklinik Colomadu dan Tasikmadu. Untuk kepentingan operasional rumah sakit dan poliklinik, pabrik gula menyediakan dana yang dikelola melalui dana penduduk (bevolkingsfonds). Sebagian dana itu untuk membantu pasien yang tidak mampu.

Komitmen pemberdayaan warga yang sejak awal dicanangkan Mangkunegara IV dilanjutkan dengan menciptakan transportasi yang baik, badan usaha jasa, bank desa, dan berbagai aktivitas pengembangan ekonomi kerakyatan. Bukti-bukti ini merupakan kritik perkembangan kapitalisme lanjut yang dipahami secara artifisial oleh kaum pribumi sehingga banyak yang terjebak dalam kubangan korban kapitalisme yang didesain Barat. Spirit kegelisahan, spirit pemberdayaan, dan spirit pengembangan yang telah dicontohkan Mangkunegara IV sangat tepat dalam pengembangan pemberdayakan masyarakat. Sayang, sesuai perubahan sosial politik pascakemerdekaan, tahun 1946, Pemerintah Indonesia mengambil alih kepemilikan industri gula dengan alasan pemerintah Praja Mangkunegaran telah berakhir dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prorakyat

Gerak pemberdayaan rakyat yang ditancapkan Mangkunegara IV adalah sebuah keteladanan reflektif dan aplikatif dalam momentum pilkada sekarang. Ketika kondisi ekonomi terpuruk, lapangan pekerjaan semakin langka, kondisi kedaulatan pangan makin lemah, dan kaum marjinal makin dipinggirkan, apa yang bisa dilakukan calon pemimpin daerah di Jateng?

Rakyat sekarang semakin cerdas. Bukan janji dan omong kosong yang mereka harapkan. Bukan kampanye tebar pesona yang mereka nantikan. Bukan pula kucuran dana deras menjelang kampanye yang mereka idamkan. Akan tetapi sebuah "komitmen keteladanan". Peran pemimpin dengan keteladanan inilah yang diperankan para guru bijak (900-200 SM), seperti Confusius, Musa, Isa, dan Muhammad. Mereka tampil dengan berbela rasa; mengedepankan cinta, keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan melampaui egoisme dan egosentrisme. Sejarah mencatat, kemakmuran dan kesejahteraan mereka raih bersama rakyatnya. Demikian juga yang telah diperankan oleh Mangkunegara IV.

Dalam konteks sekarang, pemimpin Jateng masa depan adalah yang selalu prorakyat. Semua kebijakan negara selalu mengacu kepada kemaslahatan rakyat. Pemimpin yang berani memangkas habis semua jaring korupsi. Pemimpin yang seluruh denyut nadi rakyatnya dapat merasakan. "Ketika rakyatku lapar, maka akulah orang pertama kali yang akan merasakan lapar," demikian ucap Umar bin Khattab, seorang pemimpin legendaris pengganti Muhammad.

Itulah pemimpin prorakyat yang diidamkan dalam momentum pilkada sekarang. Keteladanan Muhammad, Umar bin Khattab, termasuk Mangkunegara IV patut menjadi catatan penting. MUHAMMADUN AS,

Analis Sosial, Pengelola Kajian "Trans-Politica" Pati

Source ; Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 16:26 WIB

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Ganjar Pranowo (kiri) memimpin rapat Panitia Kerja Komisi II dengan Badan Pengawas Pemilu di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/4). Rapat tersebut untuk mendapatkan masukan dalam revisi UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. (Kompas/Totok Wijayanto)***

PEMILU KEPALA DAERAH

Biaya Pengawas Pilkada Diusulkan dari APBN

JAKARTA - Biaya pengawasan pemilihan umum kepala daerah diusulkan dialokasikan langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain memudahkan kerja panitia pengawas, anggaran dari pusat itu diharapkan juga bisa meminimalisasi potensi intervensi pemerintah daerah kepada penyelenggara pemilu kepala daerah.

Demikian salah satu usulan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu di Jakarta, Selasa (20/4).

”Teknisnya bisa dalam bentuk DAU (dana alokasi umum) atau DAK (dana alokasi khusus). Itu yang diinginkan daerah,” kata Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini.

Selama ini dana Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat.

Menanggapi usulan itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, dan Ida Fauziyah dari Fraksi PKB menyatakan persetujuannya. Panitia Kerja akan mengundang Direktur Jenderal Pengelolaan Anggaran untuk meminta masukan apakah bisa anggaran Panwas Pilkada dialokasikan dalam APBN.

Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch Divisi Korupsi Politik, Abdullah Dahlan, mengingatkan aturan penegakan hukum untuk politik uang lemah, yang membuat calon kepala daerah luput dari jeratan hukum. Karena itulah, lanjut dia, Panwas Pilkada diharapkan segera memproses jika menemukan fakta adanya politik uang. (NTA/sie)***

Source : Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 04:01 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Syahrul, SH @ Rabu, 21 April 2010 | 10:42 WIB
Tidak hanya anggaran Panwas, tapi juga anggaran Pemilu Kepala Daerah juga harus ditampung di APBN, kan sumber APBD dalam bentuk DAUnya juga dari APBN.

PILKADA Medan : KPU Pecah di Semua Tingkatan

PILKADA

KPU Pecah di Semua Tingkatan

Saat Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Senin (19/4), memutuskan memenangkan gugatan pasangan Rudolf Pardede-Afifuddin Lubis dalam perkara melawan Komisi Pemilihan Umum Medan, seharian itu anggota KPU Medan Divisi Hukum dan Humas, Pandapotan Tamba, tak dapat dihubungi. Pandapotan juga tak hadir di Kantor KPU Medan hari itu.

Sebelumnya, KPU Medan melalui surat keputusan dengan nomor 59 tahun 2010 tertanggal 13 Maret menetapkan 10 pasang calon wali kota dan wakil wali kota. Di antara ke-10 pasangan yang ditetapkan itu, tak ada nama Rudolf-Afifuddin.

Kemudian, KPU Medan melalui sebuah surat memberitahukan kepada pasangan tersebut bahwa mereka tak memenuhi syarat sebagai calon wali kota dan wakil wali kota.

KPU Medan menilai, syarat ijazah sekolah menengah atas (SMA) Rudolf bermasalah sehingga dianggap tak memenuhi syarat mencalonkan diri. Rudolf yang mengaku bersekolah di SMA Kristen BPK Penabur Sukabumi ini hanya mencantumkan surat keterangan pengganti ijazah.

Atas pendiskualifikasian itu, pasangan Rudolf-Afifuddin menggugat ke PTUN Medan. Rudolf-Afifuddin memenangkan semua gugatan terhadap KPU Medan. Selain memerintahkan pembatalan Surat Keputusan KPU Medan No 59/2010, PTUN juga memerintahkan KPU Medan agar menyertakan Rudolf-Afifuddin sebagai salah satu pasangan calon wali kota dan wakil wali kota selain ke-10 pasangan yang telah ditetapkan.

Masalah pencoretan itu tak hanya mengundang kontroversi di KPU Medan. Pandapotan, yang biasa dengan mudah dimintai keterangan oleh wartawan, seharian itu seperti mengelak. Sebelumnya memang ada keputusan tak tertulis, menyangkut persoalan pendiskualifikasian Rudolf-Afifuddin, hanya Ketua KPU Medan Evi Novida Ginting yang boleh memberikan keterangan.

Tak seperti halnya Pandapotan yang sempat mengungkapkan, keputusan pengadilan bisa mengubah keputusan KPU Medan, Evi justru sebaliknya. Evi dengan tegas mengatakan, tahapan pilkada tetap jalan terus meski proses hukum tengah dijalani KPU Medan. Ketika ditanya, bagaimana jika keputusan hukum tetap (inkracht) memerintahkan KPU Medan mengakomodasi pencalonan pasangan Rudolf, Evi menjawab, ”Jangan berandai-andai seperti itu.”

Sudah bukan rahasia, KPU Medan tak satu suara dalam soal pendiskualifikasian Rudolf-Afifuddin.

Tak hanya di KPU Medan, KPU pusat pun ternyata belum kompak. Anggota KPU, I Gusti Putu Artha, selama ini berpendapat bahwa Rudolf memenuhi syarat menjadi calon wali kota. Putu juga mengungkapkan, KPU pernah menggelar rapat pleno membahas masalah ini. Akan tetapi, sampai sekarang, hasil tertulis rapat tersebut tak pernah ada.

Ketidakkompakan ini juga terjadi di KPU Sumut yang seharusnya menyupervisi KPU Medan mengenai hal itu. Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution mengakui, perbedaan pendapat di antara KPU Sumut atas persoalan ini sebagai hal yang wajar. (KHAERUDIN)***

Source : Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 04:13 WIB

Aturan Pemilu Kepala Daerah Masih Lemah

Kekuasaan Bisa Kosong

Aturan Pemilu Kepala Daerah Masih Lemah

JAKARTA - Ikut sertanya kembali kepala daerah yang sudah menjabat dua periode dalam pemilu kepala daerah dengan mengambil posisi sebagai wakil kepala daerah berpotensi menimbulkan kekosongan kekuasaan. Kondisi itu bisa menimbulkan pemerintahan di daerah tidak stabil.

Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu segera mewaspadai kondisi tersebut. Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (20/4), mengatakan, potensi kekosongan kekuasaan itu terjadi jika kepala daerah dua periode yang maju sebagai wakil kepala daerah itu terpilih dalam pilkada. Jika kepala daerahnya berhalangan tetap, sesuai aturan, wakil kepala daerahlah yang harus menjadi kepala daerah pengganti.

Namun, wakil kepala daerah itu tidak otomatis bisa menggantikan posisi kepala daerah karena sudah dua kali menjabat kepala daerah sebelumnya sebagaimana tertera pada Pasal 58 Huruf o UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Haryadi menambahkan, untuk menunjuk pelaksana tugas harian kepala daerah juga tidak mungkin dilakukan karena masih ada wakil kepala daerah yang lebih berhak. ”Kekosongan hukum ini harus segera diatasi oleh pemerintah dan DPR,” ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro, Semarang, Hasyim Asy’ari, menambahkan, kerumitan dalam menentukan posisi kepala daerah bila kepala daerahnya berhalangan tetap dan wakilnya tidak bisa menggantikan karena sudah dua periode menjabat kepala daerah merupakan cermin lemahnya hukum yang mengatur soal pilkada.

”Rencana perubahan UU No 32/2004 yang akan dipecah salah satunya dalam UU Pilkada harus mengantisipasi kasus-kasus yang kemungkinan bisa menimbulkan kekosongan hukum,” katanya.

Namun, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Sidiq, Senin, mengatakan, rancangan revisi UU No 32/2004 itu masih baru sampai ke tahap pengkajian. Jika pemerintah akan menambah persyaratan pencalonan, bisa dimasukkan ke dalam rancangan atau draf revisi UU No 32/2004.

Meski demikian, Mahfudz mengingatkan, aturan baru itu hendaknya tidak menimbulkan kekisruhan baru. Jangan sampai aturan itu bertentangan dengan aturan hukum yang lain.

Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Saut Situmorang mengatakan, salah satu persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam UU No 32/2004 adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Namun, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan, pemerintah tidak boleh membatasi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

Maraknya kandidat artis dan keluarga pejabat petahana, kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, sesungguhnya menunjukkan fenomena semakin menguatnya feodalisme kedaerahan. ”Otonomi daerah dengan pilkada langsung memapankan oligarki politik dan oligopoli ekonomi lokal,” katanya.

Mencuatnya artis dan keluarga petahana mendapat tanggapan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa kandidat artis adalah Julia Perez di Kabupaten Pacitan dan Vena Melinda di Kabupaten Blitar, keduanya di Jawa Timur. (ita/ren/nik/mzw/nta/sie) ***

Source : Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 03:22 WIB

PILKADA : Romantisme Orang Tua

PEMILU KEPALA DAERAH

Romantisme Orang Tua

Masih ingat lagu berjudul ”Pak Tua” yang dipopulerkan band asal Pasuruan, Jawa Timur, Elpamas? Lagu yang mencuat pada era Orde Baru itu liriknya tak pelak menggiring asosiasi orang pada sosok Presiden Soeharto yang tak jemu-jemu duduk di kursi kekuasaan selama 32 tahun.

Kekuasaan memang menghanyutkan. Jika tidak mawas diri, orang jadi lupa dibuatnya. Jika kekuasaan bisa terus-menerus dipegang, kenapa tidak...?

Fenomena itu kini menjadi gelombang besar di daerah. Orang tua yang telah lama malang melintang di jaringan kekuasaan berusaha dengan berbagai upaya meraih kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Bagi yang duduk di level tertinggi di daerah, ambisinya adalah mempertahankan kekuasaan, minimal di tangan keluarga dan kroninya.

Ajang pemilu kepala daerah (pilkada) akhirnya menjadi kompetisi pemain lama dan orang tua. Lagu ”Pak Tua” tak pernah usang, bahkan sekarang kian menemukan konteksnya dalam pilkada yang lebih tepat disebut ajang pacuan ambisi segelintir orang daripada pesta demokrasi rakyat.

Di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), saat ini digelar pilkada guna memilih gubernur dan wakil gubernur periode 2010-2015. Komisi Pemilihan Umum Kepri telah menetapkan tiga pasangan calon kepala daerah. Mereka adalah muka lama.

Pasangan calon nomor urut 1, Nyat Kadir-Zulbahri, adalah muka lama. Nyat Kadir (61) adalah Wali Kota Batam periode 2001-2005. Zulbahri adalah anggota DPR.

Pasangan nomor urut 2, Mohammad Sani-M Soerya Respationo, juga muka lama. Sani adalah wakil gubernur petahana (incumbent) yang umurnya 68 tahun. Soerya adalah Wakil Ketua DPRD Kepri yang dulunya Ketua DPRD Kota Batam.

Pasangan bernomor urut 3, Aida Zulaika Ismeth-Eddy Wijaya, setali tiga uang. Aida (62) maju menggantikan suaminya, Ismeth Abdullah, yang gagal mencalonkan diri kembali akibat ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi menyusul statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran di Batam. Eddy Wijaya (57) adalah Sekretaris Daerah Kepri.

Pasangan calon kini tengah sibuk berkampanye. Lalu bagaimana dengan tugas mereka selaku pejabat publik?

Semuanya ramai-ramai menyerahkan tanggung jawabnya kepada pelaksana tugas dan mengklaim semuanya berjalan normal. Kalau roda pemerintahan bisa berjalan normal tanpa mereka, berarti tak ada urgensinya mereka mencalonkan diri menjadi gubernur dan wagub.

”Kita ini malang. Cari pemimpin itu seharusnya yang benar-benar punya kapasitas dan mau bekerja keras. Tetapi, sekarang ini kita dihadapkan pilihan yang jelek-jelek. Jadi, lagi-lagi kita harus memilih yang keburukannya paling sedikit di antara yang lainnya,” kata Sudirman (35), seorang pegawai swasta di Kota Batam.

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji, Tanjung Pinang, Zamzami A Karim, menyatakan, melihat komposisi calon yang ada, sulit diharapkan adanya pembaruan pembangunan di Kepri. Sosok muda yang berkapasitas idealnya lebih memiliki visi yang segar.

”Tak adanya kader partai politik yang maju sebagai calon merupakan bukti kegagalan parpol dalam menjalankan tugas pengaderan calon pemimpin. Maka yang terjadi adalah politik transaksional semata. Siapa yang bisa membayar perahu, dialah yang bisa maju,” katanya. (LAKSANA AGUNG SAPUTRA/Kompas)***

Source : Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 03:23 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Yaning @ Rabu, 21 April 2010 | 11:15 WIB
"Kalau roda pemerintahan bisa berjalan normal tanpa mereka, berarti tak ada urgensinya mereka mencalonkan diri menjadi gubernur dan wagub." betul juga.

PEMILU KEPALA DAERAH : Menunggu Duet Anak-Bapak

PEMILU KEPALA DAERAH

Menunggu Duet Anak-Bapak

Menarik mencermati Pilkada Kabupaten Jembrana, Bali, yang bakal digelar September 2010. Untuk pertama kalinya, pilkada bakal dilaksanakan dengan sistem elektronik alias e-voting. Dari sisi bakal calon bupati-wakil bupati Jembrana, santer terdengar kabar akan tampilnya duet anak-bapak, yakni Patriana Krisna-Gede Winasa. Winasa adalah incumbent Bupati Jembrana dua periode terakhir.

”Ah, itu hanya rumor politik. Hingga detik ini posisi saya (untuk berduet dengan sang anak) adalah 99,99 persen,” kata Winasa di Denpasar, Jumat (16/4).

Sejak beberapa bulan terakhir, baliho-baliho Krisna-Winasa terpasang di sejumlah titik strategis di Jembrana. Namun, kata Winasa, dia hanya bermaksud mendukung rencana pencalonan Krisna.

Ketua KPU Jembrana Wahyudhiantara menyatakan, dari perolehan kursi di DPRD Jembrana, maksimal terdapat lima pasangan calon plus calon-calon independen dalam Pilkada Jembrana 2010. Diakui, pasangan Krisna-Winasa banyak diperbincangkan di masyarakat.

”Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur gubernur/bupati/wali kota yang telah menduduki jabatan dalam dua periode tidak bisa menduduki posisi sama. Jadi, misal Pak Winasa mau mencalonkan diri menjadi wakil bupati, ya tetap diperbolehkan,” katanya.

Krisna hingga kini masih tercatat sebagai salah satu kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sesuai hasil Rapat Kerja Cabang Khusus DPC PDI-P Jembrana, dia mendapat perolehan suara tertinggi untuk posisi wakil bupati. Namun, belakangan ia memilih mencari dukungan dari masyarakat dengan cara mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP). Bentuk dukungan melalui pengumpulan KTP itu merupakan prasyarat untuk mencalonkan diri dari jalur independen.

Winasa membenarkan putra sulungnya menggalang dukungan KTP sebagai langkah antisipasi. ”Ada persiapan khusus kalau tidak ada kendaraan partai,” ujar Winasa.

Pilkada Surabaya

Rupanya banyak cara ”mengakali” pilkada agar tak terjerat UU No 32/2004.

Di Surabaya, Wali Kota Bambang DH maju menjadi calon wakil wali kota berpasangan dengan calon wali kota Tri Rismaharini, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya. Wakilnya, Arif Afandi, maju menjadi calon wali kota berpasangan dengan Adies Kadir. Pemilihan akan dilakukan 2 Juni 2010. Pasangan calon lain adalah Bagio Fandi Sutadi-Mazlan Mansur (Dimaz), Fandi Utomo-Yulius Bustami (Fu Yu), dan pasangan independen Fitrajaya-Naen Soeryono (Fitra-Naen).

Bambang semula hendak maju menjadi calon wali kota. Namun, upaya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) gagal karena dia dinilai sudah menjabat wali kota selama dua periode. Pada periode pertama dia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal dunia. Karena menjabat lebih dari 2,5 tahun, MK menilainya satu periode.

Setelah melalui pemilihan yang alot, akhirnya DPP PDI-P memasangkan Bambang dengan Tri Rismaharini yang merupakan bawahan Bambang. Tri Rismaharini dipilih karena memiliki akseptabilitas yang kuat di masyarakat Surabaya setelah sukses membuat Surabaya bersih dan hijau tatkala menjadi Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Surabaya. (Benny Dwi Koestanto/ Anwar Hudiono/KOMPAS)***

Source : Kompas, Selasa, 20 April 2010 | 03:38 WIB

ANALISIS POLITIK : Pintu Optimisme

ANALISIS POLITIK

Pintu Optimisme

Oleh SUKARDI RINAKIT

Malam Minggu kemarin, saya menghadiri peluncuran buku Arifin Panigoro atau AP. Judulnya, Berbisnis Itu (Tidak) Mudah. Jakob Oetama, dalam sambutannya, mengatakan, ”AP itu bukan saja seorang pengusaha, tetapi juga ’aktivis politik’ yang teguh memegang koridor etis.”

Penulis bersetuju dengan pandangan itu. Di tengah merenungi ucapan Jakob Oetama dan merekonstruksi peran Griya Jenggala (kediaman AP) sebagai oase pergerakan kebangsaan sejak era reformasi, seorang tamu tiba-tiba berbisik, ”Mas, bagaimana prediksi politik?” Saya menjawab pendek, ”Stabil.”

Dalam perspektif budaya politik, sekurangnya ada tiga syarat agar stabilitas politik terwujud, yaitu ladang penuh rumput (tegal akeh suket), sungai tidak kering (kali ora asat), dan penguasa tidak sibuk dengan citra diri (ratu titi periksa).

Stabilitas politik

Padang menghijau rumput, sungai tidak kering, dan penguasa yang ”titi periksa” sebenarnya merupakan analogi dari keterkaitan antara stabilitas politik dan pembangunan. Itu semua untuk menjaga agar proses demokrasi yang terkonsolidasi tidak menjadi defektif (Merkel dalam Hadiwinata dan Schuck, 2010). Apabila padang tanpa rumput, ternak otomatis akan meninggalkannya. Jika sungai menjadi kering, burung kuntul juga akan terbang ke tempat lain.

Demikian juga jika penguasa hanya sibuk menjaga citra diri, hati rakyat pelan-pelan akan meninggalkannya. Ia akan kesepian sendirian.

Dalam konteks Indonesia sekarang ini dapat dikatakan ladang Indonesia sedang penuh dengan rumput. Ini adalah analogi dari kondisi politik yang kondusif. Indikatornya, pelaksanaan Pemilihan Umum 2009 dan 456 pemilihan kepala daerah dalam dua tahun terakhir tidak ada konflik besar, gerakan separatis, dan penumpasan etnis sebagai sisi gelap demokrasi (Mann, 2005). Keyakinan yang sama berlaku pada 244 pemilihan kepala daerah tahun 2010.

Di luar urusan pemilihan umum tersebut, secara hipotesis, rakyat sendiri tampaknya juga sudah lelah dengan segala hiruk-pikuk politik dan ketidakpastian hidup. Dalam kondisi seperti itu, mereka akan mudah didorong guna merajut optimisme menghadapi masa depan. Apalagi gerak pemberantasan korupsi dan perang terhadap terorisme, meski tetap terbuka praktik tebang pilih, ia tetap berguna bagi terbukanya pintu optimisme publik.

Pendeknya, ladang kita memang mulai dipenuhi rumput. Kenyataan ini pasti dipantau oleh para pelaku usaha internasional. Mereka tentu mulai melirik Indonesia sebagai tempat investasi. Gejala awalnya sudah jelas, arus wisatawan meningkat 13 persen dalam sebulan terakhir. Bisa jadi ini adalah efek dari kekisruhan politik di Thailand. Akan tetapi, secara obyektif, ladang subur Indonesia memang mulai eksotik kembali. Menurut perkiraan, investasi akan tumbuh lebih dari 10 persen pada semester pertama tahun 2010.

Jika ladang kita mulai dipenuhi rumput, demikian juga dengan sungainya. Air mulai mengalir dan burung-burung kuntul berdatangan. Analog ini tepat untuk menggambarkan indikator mikro ranah politik, yaitu perilaku kelompok strategis.

Apabila kita mencermati perilaku partai politik, aktivis dan mahasiswa, pengusaha, serta TNI, misalnya, tidak ada yang bergerak di luar garis konstitusi. Semua berada dalam kesepakatan yang menjunjung nilai dan perilaku nirkekerasan. Esensinya, tidak ada yang mengancam stabilitas politik nasional.

Meskipun politisi di parlemen riuh seperti dalam kasus Bank Century, kehidupan partai politik relatif mengalir tenang. Tidak ada konflik internal dan kompetisi antarpartai yang berpotensi membelah ketenangan hidup berbangsa. Demikian juga dengan tekanan para aktivis dan mahasiswa melalui gerakan ekstraparlementer, berlangsung tertib.

Tidak mengherankan jika pengusaha tetap menjalankan aktivitas rutinnya dan tidak tertarik untuk ikut campur sebuah gerakan politik. Hal yang sama terjadi pada TNI. Mereka tetap berada di luar medan magnet politik dan tidak tergoda melakukan manuver yang bisa menyeret mereka kembali ke pusaran politik.

Itulah alasan mengapa saya menjawab bahwa kondisi politik akan stabil ketika seseorang bertanya pada malam Minggu lalu.

Bisa menangis

Akan tetapi, stabilitas politik yang terjaga tersebut, setidaknya sampai menjelang Pemilihan Umum 2014, tidak akan bisa menjadi pintu optimisme publik dan peningkatan kesejahteraan umum jika para elite politik sudah lupa cara menangis dan hanya sibuk bersolek. Hati mereka menjadi beku karena hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompok. Mereka mengabaikan ”titi periksa” dan tidak sensitif terhadap penderitaan dan perikehidupan rakyat.

Kalau mau jujur, memang banyak elite kita yang hatinya sudah beku. Jangankan memikirkan perikehidupan rakyat, naik mobil pun mereka tidak memikirkan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan yang kecipratan genangan air hujan karena mobil yang dikendarainya melaju kencang. Melihat orang tua yang tertatih-tatih memikul beban berat dan kesulitan menyeberang jalan pun, hati mereka tak tersentuh. Jika kondisi ini terus berlangsung, pintu optimisme akan sulit terbuka.

Semoga hati para pemimpin menjadi terbuka dan berani mengambil jalan mendaki dan sulit demi rakyat. Dengan demikian, peluang emas bisa direbut. Gusti ora sare.

SUKARDI RINAKIT,

Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Source : Kompas, Selasa, 20 April 2010 | 03:43 WIB

PILKADA JAMBI : Alat Kampanye Harus Diturunkan

PEMILU KEPALA DAERAH

Alat Kampanye Harus Diturunkan

JAKARTA - Berbagai media kampanye yang marak terpasang di tepi-tepi jalan sudah harus diturunkan mulai Senin (19/4) seiring dengan telah diperolehnya nomor urut setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jambi. Kampanye baru dapat dilakukan pada 2 Mei hingga 15 Juni mendatang.

Demikian dikemukakan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jambi Shalahuddin. ”Apa pun bentuknya, spanduk, baliho, dan lain sebagainya, mulai Senin ini harus diturunkan oleh setiap tim pasangan calon,” ujarnya.

Berdasarkan pantauan di jalan-jalan protokol dan tempat umum, spanduk dan baliho banyak dipasang di tepi jalan, baik di pohon maupun di pagar bangunan. Alat kampanye tersebut bertebaran semakin padat di persimpangan jalan.

Sementara itu, penetapan calon kepala daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, periode 2010-2015 berlangsung alot. Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gowa sudah berlangsung selama lima jam hingga berita ini diturunkan pukul 18.00 Wita, Senin.

Sesuai dengan jadwal yang telah disusun, Senin, KPU menetapkan pasangan yang berhak mengikuti Pilkada Kabupaten Gowa yang akan dilangsungkan pada 23 Juni 2010. Saat ini lima bakal calon kepala daerah bersaing untuk memimpin Kabupaten Gowa selama lima tahun ke depan.

Sementara Bupati Flores Timur Simon Hayon, yang mencalonkan diri kembali dalam pemilihan umum kepala daerah berpasangan dengan Sekretaris Daerah Flores Timur Fransiskus Diaz Alffi, ditolak pencalonannya oleh KPU daerah. Tidak puas dengan keputusan itu, massa pendukung keduanya langsung berunjuk rasa di kantor KPU daerah. (apa/RIZ/SEM/ITA/Kompas)***

Source : Kompas, Selasa, 20 April 2010 | 04:39 WIB

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template