CARI BERKAH KLIK DI SINI

15 November 2010

Indramayu & “Provinsi” Cirebon

Indramayu & “Provinsi” Cirebon

Oleh Yon A Udiono

Indramayu salah satu kabupaten yang – kalau begini terus – sah merasa selamanya bakal tersabot dari bandwidth politik pembangunan Provinsi Jabar yang tersentralisasi.

Tak terkovernya Indramayu secara proporsional dari kapasitas transmisi “sambungan” dalam jaringan pemerataan kue pembangunan memunculkan respon negatif dari tokoh-tokoh di sana. Elite Indramayu turut “berkomplot” bersama elite daerah lain – yang senasib sepenanggungan – seperti Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Kuningan, dalam menggulirkan rencana pembentukan Provinsi Cirebon.

Seperti ketika sejumlah eksponen lokal se-wilayah III Cirebon saling connect memfasilitasinya, dan para tokoh masyarakat kawasan Ciayumajakuning mendeklarasikan pembentukan Provinsi Cirebon.

Di antaranya Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat, plus kerabat kesultanan dari Keraton Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan; Rokhmin Dahuri selaku Ketua Paguyuban Sedulur Cirebon, ulama PBNU Jafar Sayid Aqil Siroj, serta sejumlah tokoh pesantren di Wilayah III Cirebon.

Pepesan Kosong

Provinsi Jabar tak sekadar seluas bumi yang sudah terpatok dengan sumpek oleh dinding tempurung geografi Kota Bandung yang umpel-umpelan. Dus, masih banyak titik dan sudut di dalamnya dan di ujung-ujung “teritorialnya” yang lebih senonoh menjadi ajang menaruh cipratan-cipratan kue pembangunan.

Tapi kenapa tiap saat ibukota Jawa Barat tak berminat memberlakukan aturan ketat membangun gedung-gedung dan pusat-pusat pelayanan bertingkat ? Yang dibutuhkan oleh ibukota malah semacam “landasan pacu” untuk menampung pesawat berupa gedung-gedung yang makin rimbun dan jumlahnya makin tak terhitung? Bangunan-bangunan kampus yang tak pernah mengenal surplus? Bisnis properti yang uncensored: dengan bangunan vertikal yang saling berpacu dalam melodinya sendiri yang tribal?

Tata ruang Kota Bandung menjadi sok sebidang “filosofi” – itu jika kita bebas memahami pengertian Mohammad Hatta – tempat segenap stakeholder-nya berhak “berpikir merdeka dengan tiada dibatasi kelanjutannya”.

Hingga apa boleh buat. Dengan itu Kota Bandung makin menjadi polutif saja dan tampak berjelaga. Keberadaan lalu-lintas kendaraan bermotor di jalan-jalan raya yang overdosis – dipicu oleh gelombang urbanisasi dari pelbagai sudut – adalah salah satu mesin gara-garanya. Ditingkahi mismanajemen pengelolaan sampah (sampah itu soal peradaban, Tuan ...) oleh satuan kotapraja di dalamnya.

Keberadaan gedung-gedung dalam sebuah kota adalah eksistensi sejarah politik yang sebenarnya juga sejarah keserakahan dan perebutan (pleonoxia). Kota Bandung yang “kapal-keruk” itu menjadi kontestasi tentang – sesungguhnya – orkestrasi ketidak-adilan atas kepentingan dan hak konstitusional daerah. Kota itu jari yang menunjuk ke arah luar bahwa yang jauh letak peta geografinya darinya, seperti Indramayu, tak lain sebungkus “pepesan kosong” pemenuhan hak-hak rakyat.

Padahal jika mengikuti normatifnya daerahlah yang didorong mengeksekusi sendiri dalam pemenuhan hak-hak rakyat.

Mengupas Kulit Bawang

Andai di Kota Bandung pembangunan properti-properti baru di-turn off, pemprov bakal memergoki isyarat solusi jangka panjang masalah-masalah sosial dan psikis berupa relasi-relasi sosial, terutama di jalanan dan area-area publik, yang makin krodit.

Persoalan seperti kemacetan lalu-lintas yang sejauh ini menekan urat saraf kota terjawab seumpama ia bersedia mengukur keterbatasan tata ruangnya atau kapasitasnya.

Dengan mengukur diri sebagai geometri yang daif, Kota Bandung memiliki nyali untuk melakukan tindakan “memutar ke arah kiri keran” modernisme: berpuasa atau membentengi diri dari maraton pembangunan gedung-gedung kampus baru juga hotel-hotel, mal-mal atau pusat-pusat perbelanjaan. Pokoknya stop menginjeksi properti apapun ke dalamnya yang eksesif. Stop bisnis properti yang sepak terjangnya seperti “mengupas kulit bawang” yang kita tak tahu kapan bisa benar-benar final.

Akan halnya persoalan daerah. Akan accomplished jika kue pembangunan itu dibikin tersebar dalam tiap ruang kehidupan.

Di Indonesia ada beberapa (tak semuanya) praktik pemekaran wilayah benar-benar visioner. Ada ibukota provinsi atau kabupaten dan kota melakukan relokasi sebagian pusat pengendalian pemerintahan dan ekonominya hingga berkahnya tak saja membuat ibukota merasa jadi plong. Tapi tak kalah wigati juga mengirigasikan kesejahteraan sosial dan ekonomi ke daerah-daerah pinggiran.

Konsideran

Ke dalam konteks itulah asprak yang dilontarkan “Jabar-1”, Ahmad Heryawan, usai meresmikan bangunan baru Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Sumber, Kabupaten Cirebon, waktu lalu sah kita maknai. Janji untuk mulai bersedia “mandi kembang” memperhatikan. Kita dengar salah satunya dengan mendirikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Cirebon.

So pasti akan kepergok dengan masalah minimnya SDM yang tercadang di daerah. Tetapi kondisi paceklik SDM bukan alasan untuk gentar atau ngeles sampai mati. Kalau mau selalu saja ada penyiasatan.

Mungkin mulanya dengan memberi kesempatan tenaga-tenaga dosen muda dari wilayah III Cirebon: termasuk Kabupaten Indramayu. Seumpama dengan menyediakan kebutuhan beasiswanya untuk memperoleh pendidikan lanjutan di perguruan-perguruan tinggi di Bandung lebih dulu. Tapi kemudian kalau sudah lulus harus balik ke asal geografinya untuk mengajar pemuda-pemuda daerah.

Habitus tempat dosen-dosen mengajar di daerah asalnya itulah “ibunda kita”. Kata ini saya pungut dari Jakob Sumardjo meskipun sang budayawan itu tentu tak sedang bicara Ciayumajakuning.

Pemenuhan politik pemerataan dan rasa keadilan itulah hakikat munajat masyarakat. Adapun resonan pembentukan Provinsi Cirebon mungkin saja belum cukup konsideran sosiologis untuk bisa kita angkat-rumuskan sebagai cantolan.

Mudah-mudahan hitung-hitungan saya itu keliru. Tapi di hadapan priayi Cirebon kelak, sudah saya siapkan sejak hari ini kata, “Ooops ...”

Yon A Udiono,

Litbang Lembaga Studi Sosial Normatif (Lesson). Berkiprah di Jogja.

Sanca, Desa Gulita Era Modern

INFRASTRUKTUR

Sanca, Desa Gulita Era Modern

Perjalanan ke rumah Musta (70) di Kampung Tegal Sapi, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, dalam 700 meter terakhir harus dilalui dengan berjalan bertelanjang kaki. Apa mau dikata, jalan tanah itu penuh lumpur setelah diguyur hujan. Sewaktu-waktu bisa saja terpeleset karena tiada lampu penerangan. Maklum, Sanca termasuk desa yang belum teraliri listrik Perusahaan Listrik Negara.

Sebelum tiba di rumah Musta, di kanan-kiri jalan terlihat beberapa rumah yang gelap gulita. ”Saya layak bersyukur karena sudah ada lampu menyala di rumah ini, daripada rumah- rumah lain yang tetap tanpa penerangan,” ujar Musta, awal pekan lalu di teras rumahnya.

Sambil menghirup rokok hasil lintingan sendiri, ia mengisahkan, instalasi penerangan di rumahnya terpasang sejak Lebaran, pekan kedua September lalu. Ia yang sehari-hari bertani dan berladang harus membayar Rp 350.000 untuk menebus jaringan itu. ”Yang Rp 250.000 dibayar sebelum Lebaran. Rp 100.000 sisanya setelah Lebaran, itu setelah berkali-kali ditagih karena terlambat membayar. Bagaimana lagi, sedang susah cari uang,” tutur Musta, yang malam itu didampingi istrinya, Casina (60).

Listrik di rumah Musta adalah listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sebagai listrik yang bukan dari PLN, dayanya terbatas. Namanya juga PLTS, kekuatannya bergantung pada sinar matahari. Ketika Indramayu sering mendung dan hujan seperti akhir-akhir ini, daya yang tertampung hanya sedikit.

Tak mengherankan jika di rumah Musta hanya ada dua lampu yang bisa menyala sampai pagi. Itu sudah maksimal. Pernah suatu malam, saat Andi, menantunya, datang dari Jakarta, Musta menyalakan tiga lampu. Malang tak kuasa ditolak, semua lampu itu padam total sejak pukul 03.00, dan tak hidup lagi hingga matahari muncul di ufuk timur.

”Memang hanya kuat untuk dua lampu. Ditambah satu saja, pukul tiga sudah mati. Makanya saya tidak pernah berpikir menyalakan televisi, bahkan radio sekali pun. Kalau siang hari ada yang numpang nge-charge handphone, lebih tidak kuat lagi. Dua lampu sampai pagi, sudah untung,” tutur Musta.

Pasangan Musta-Casina beruntung karena di Kampung Tegal Sapi belum semua warga menikmati listrik PLTS, apalagi PLN. Dari 300 rumah di kampung itu, baru 90 rumah yang berlistrik, semuanya dari PLTS. Data yang dihimpun menyebutkan, untuk membayar Rp 350.000 guna pemasangan jaringan, sebagian warga rela menjual kambing dan ayam peliharaan.

Adapun untuk Desa Sanca, sesuai dengan penjelasan Kepala Desa Sanca, Mulus (63), dari 2.500 rumah warga, baru 120 di antaranya yang sudah menikmati listrik tenaga surya. ”Bukan hanya rumah-rumah di seputar hutan yang belum ada lampunya. Rumah di dekat pusat Desa Sanca juga masih banyak yang gelap,” kata Mulus, Senin (25/10).

Tempat ”nongkrong”

Rumah-rumah di Desa Sanca, seperti halnya rumah Musta dan Casina, mayoritas berdinding bambu dan beralas tanah. Di teras rumah Musta yang dikitari sawah dan tegalan, tersedia dua balai-balai untuk menerima tamu. Di teras itu pula, ada seember air bersih yang bisa dipakai untuk mencuci kaki, bila ada yang kena becek dalam perjalanan ke rumahnya. Satu-satunya ruang di rumahnya sangat multifungsi karena menjadi kamar tidur, ruang keluarga sekaligus dapur, juga beralas tanah.

Sebagai salah satu yang berlampu, wajar jika rumah Musta kerap menjadi tempat nongkrong warga di malam hari. Terlebih, Casina sering menyediakan pisang goreng sebagai kudapan para tamu. Sejumlah anak di kampung itu, salah satunya Otong, anak Ma’an, tetangga Musta, juga sering singgah dan bermain di situ. ”Anak-anak senang karena di sini ada lampu. Kalau di rumah mereka, gelap,” tambah Casina.

Suasana Kampung Tegal Sapi di Desa Sanca adalah ironi modernisasi Indonesia, yang sudah menjadikan jaringan listrik sebagai komponen penting kehidupan. Posisi Indramayu di Provinsi Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, pusat pemerintahan, tak membuat Indramayu tercukupi kebutuhan listriknya.

Lebih celaka lagi, Kampung Tegal Sapi yang mengandalkan PLTS, tak begitu jauh dari desa sebelahnya, Lajem, yang sudah berjaringan listrik PLN. Saat mudik Lebaran lalu, disiagakan pos polisi di Lajem. Ketika pekan lalu Kompas melintasi jalan desa Lajem, yang menjadi jalur alternatif mudik Idul Fitri 2010, pos polisi tersebut masih tegak berdiri, lengkap dengan lampu listrik PLN-nya.

Rasio rendah

Berdasarkan pendataan Februari 2010, ada 34.600 rumah tangga di 187 desa di Indramayu yang belum menikmati listrik. Jumlah itu mencapai separuh lebih dari total 315 desa di Indramayu, yang tersebar mulai dari perbatasan Subang, Sumedang, Majalengka, hingga Cirebon. Dari data itu, setidaknya ada sekitar 35.000 rumah di Indramayu belum diterangi listrik.

Meskipun listrik PLN sudah ada di hampir di semua desa, itu tak menjamin semua rumah teraliri listrik. Ada beberapa desa yang sebagian rumah warganya masih tanpa penerangan, seperti Desa Sanca di Kecamatan Gantar, Desa Sukaslamet dan Kroya (Kecamatan Kroya), serta Desa Cikawung dan Jatimulya (Kecamatan Terisi).

Rasio elektrifikasi pelanggan rumah tangga di Indramayu juga rendah, hanya 57,28 persen. Angka itu jauh di bawah rasio elektrifikasi Jawa Barat yang berkisar 67 persen. Menurut Kepala Bidang Pertambangan dan Energi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Indramayu Dodi Dwi Endrayadi, bisa jadi angka riil rasio elektrifikasi Indramayu lebih besar karena belum semua rumah tak berlistrik, sudah terdata.

Kondisi geografi, mahalnya biaya pasang jaringan, dan lemahnya pemetaan jaringan oleh PLN menyebabkan banyaknya rumah tanpa listrik di Indramayu. Hutan jati di selatan Indramayu, misalnya, adalah salah satu kawasan yang sulit dipasangi jaringan listrik. Beberapa kampung berada di tengah hutan. Jalan masuknya pun masih setapak dan berupa tanah lempung.

Tak mengherankan jika untuk menyambung listrik, dibutuhkan biaya Rp 1 juta per rumah. Ongkos yang mahal bagi buruh tani dan petani tumpang sari di sekitar hutan Indramayu. Ongkos nyantol dari rumah tetangga, yang jarak antarrumah berjauhan, juga tak murah. Sebab, mereka harus menyediakan kabel yang sepanjang 500 meter lebih.

Energi alternatif penghasil listrik yang paling memungkinkan di Indramayu, sejauh ini hanya PLTS. Pembangkit listrik mikro hidro? Maaf, Indramayu tidak punya sumber air dan jeram-jeram sungai yang bisa menjadi penggerak turbin pembangkit. Sedangkan kekuatan dan intensitas angin yang tak teratur membuat pembangkit listrik tenaga angin pun tidak optimal.

Pemasangan instalasi PLTS di rumah warga dengan prioritas rumah tangga miskin dan sejahtera dimulai sejak 2001. Namun, tidak setiap tahun ada penyambungan ke rumah-rumah, disesuaikan dengan anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hingga Oktober 2010, tercatat 1.227 rumah warga Indramayu berjaringan PLTS. Terbanyak adalah pemasangan 2009 yang 556 jaringan. Tahun ini? Hanya 279 unit.

Setidaknya butuh biaya Rp 35 miliar agar sekitar 35.000 rumah warga di Indramayu teraliri listrik PLN. Itu dengan asumsi, ongkos pasang jaringan PLN per rumah seharga Rp 1 juta. Jika dengan PLTS, dana yang dibutuhkan lebih besar lagi karena tiap unit PLTS biaya alatnya berkisar Rp 5 juta.

Berharap dari anggaran kelistrikan di APBD Kabupaten Indramayu? Tidak prospektif juga. Tahun 2010, hanya ada anggaran untuk memasang jaringan di 100 rumah di desa. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tahun ini juga hanya menyiapkan pemasangan instalasi PLN di 700 rumah se-Indramayu, dalam program listrik desa. Jika anggaran per tahun dari pemerintah Jawa Barat dan Indramayu hanya untuk 1.000-1.200 unit rumah per tahun, diperkirakan, seluruh desa di Indramayu baru terang 30 tahun lagi.

Nasib Kampung Tegal Sapi, Desa Sanca, seperti di rumah Musta, adalah ironi program kelistrikan nasional. Sementara PLN berjanji akan menyambung aliran listrik ke rumah 1 juta pelanggan yang masuk daftar tunggu, pada Hari Listrik Nasional 27 Oktober lalu; Musta dan Casina masih harus prihatin dengan daya lampu PLTS yang amat terbatas. (Timbuktu Harthana/Adi Prinantyo)***

Source : Kompas, Senin, 8 November 2010 | 06:12 WIB

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template