CARI BERKAH KLIK DI SINI

7 Juni 2010

Muhammad N. Hata : Design Demokrasi dan Dinamikanya

Design Demokrasi dan Dinamikanya

Oleh Muhammad N. Hata

Salah satu persoalan yang mendasar dan sulit terpecahkan dalam demokrasi, adalah memungkinkannya setiap figur, latar belakang, dari mana dan untuk siapa dapat bermain dalam percaturan di atas papan masyarakat. Ini adalah kelemahan demokrasi hari ini yang dahulu pernah ditolak oleh Plato, karena demokrasi adalah sistem pemerintahan terburuk dan tak layak diaplikasikan. Namun seirama dengan tantangan zaman yang tak terbantahkan, kini menjadi “Tuhan politik”, bukan Tuhan agama.

Pihak yang menggencarkan upaya demokratisasi ke semua lini, seringkali berada dibelakang tabir paradigma dikotomis (strukturalisme). Dalam konteks internasional yaitu Barat dan Timur. Dimana yang pertama adalah superior, maju, manusiawi, dan Kedua inferior, berkembang, dan bar-bar. Tekanan superior atas inferior tidak berlangsung mulus, namun sebaliknya yang berlaku adalah hukum arcimides. Fenomena demikian mendapatkan basis epistemologinya oleh S. Huntingten, bahwa akan terjadi benturan peradaban antara Barat dan Timur (class of civilization). Dan mendapatkan apologinya pada tragedi 11 September, runtuhnya menara kembar. Namun tragedi berdarah di Gaza, justru mematahkan ramalan Huntington. Class tidak lagi antara Barat dan Timur, melainkan Timur dengan Timur, Barat dengan Barat. Malaysia dengan Indonesia, Israel-Palestina, Kuba-Amerika, dan seterusnya. Ini adalah derivasi dari demokrasi yang diamini oleh penganutnya.

Begitu banyak orang berargumen perihal demokarasi di tanah air. Namun apapun gagasan yang dilontarkannya, tetap saja demokrasi adalah produk impor, yang dalam setiap alirannya selalu bermuara “lautan” Amerika. Demokrasi hanya sampai pada struktur sentral yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Struktur logika yang memungkinkan setiap individu keluar dalam kotak demokrasi sulit ditembus. Padahal di luar struktur dalam kotak, adalah bagian dari struktur yang tidak dapat dipisahkan dalam pembahasannya dalam elemen apapun.

Jika Gus Dur berpendapat demokrasi harus berangkat dari bawah, dari kelas dasar, dari rakjat djelata. Maka Amien Rais sebaliknya, yaitu dari struktur atas yang bergantung pada ketiga kekuatan itu. Sementara eksistensi media yang oleh banyak kalangan diamini sebagai kekuatan keempat, kini hanya menjadi mitos. Tidak ada media yang lepas dari intervensi penguasa. Independensi media baru di level teori. Dan sulit untuk tidak tunduk pada permainan “kayu”, dolar atau rupiah serta kepentingan minoritas mapan. Demokrasi ala Gus Dur dan Amien Rais dalam dinamikanya, kesan yang muncul di permukaan seringkali berlangsung secara kontradiktif dan polaritatif, tidak sebaliknya dialogis dan dialektis. Dan tetap saja proletar-marginal, dan orang kecil yang harus jadi tumbal.

Warna dan design demokrasi

Praktik demokrasi dalam Pemilu Kada di tahun 2010 pun berlangsung sama sebagaimana dijelaskan di muka, merasa atau tidak. Ambisi membangun daerah hanya kedok untuk merebut kursi empuk. Ceceran darah dan keringat yang membanjiri orang-orang di setiap pelososk desa tak akan berhenti, dan selalu menggenangi peradaban kita. Design yang seperti apalagi yang harus ditawarkan oleh para pembual.

Jangan salahkan orang yang tidak memilih, karena tidak memilih adalah pilihan dan hak setiap insan. Tidak memilih adalah ekspresi resistensi dari kelas yang merasa tidak diuntungkan dalam setiap praktek demokrasi. Upaya pemaksaaan dengan “api neraka” yang dibungkus dengan agama oleh lembaga agama atau tokoh agama, adalah pelanggaran prinsip demokrasi itu sendiri. Tekanan terhadap yang golput oleh lembaga atau elemen hukumnya, adalah bentuk deviasi yang kontra dengan asas demokrasi.

Persoalan lainnya adalah, demokrasi dalam permainannya tidak hanya terjebak pada nalar dualisme, yaitu menang kalah. Kalah dalam permainan bukan berarti tidak diuntungkan sama sekali. Karena ada beberapa kemungkinan. Pertama; figur yang terjun dalam kancah perang orientasinya hanya untuk materi dengan modus menjual suara dan memecah belah suara lawan (devide et impera).

Kedua; orientasi utamanya adalah kekuasaan, dengan menggadaikan apapun demi sejuknya ruangan istana rakyat, berapa miliar pun jumlahnya modal yang harus ditelorkan. Ketiga; hanya untuk menutupi catatan hitam yang lama tercoret di balik lembaran kusut yang dahulu tergores. Jurus yang terakhir seringkali diperagakan oleh sekian banyak calon inchumbent atau yang ada hubungannya dengan inchumbent. Karena sudah banyak contoh kasus yang selalu berakhir pada pencadukan pada incumbent pasca hajatan politik.

Jika fenomena demikian yang seringkali tampil dalam dinamika demokratisasi yang mewarnai tanah air kita termasuk di daerah kita, hemat saya ada beberapa point penting yang harus diejawantahkan. Karena pada prinsipnya setiap entitas memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan elemen atau entitas lain.

Pertama; dalam pembacanya terhadap satu elemen tertentu baik yang di dalam struktur pemerintahan atau non pemerintahan (NGO), harus dikaitkan dengan bebebapa elemen lain. Kita tidak akan tuntas mengeja eksistensi parlemen tanpa harus diakitkan dengan eksekutif, yudikatif, media, masyarakat menengah dan kaum kecil lainnya.

Kedua; kendati masing-masing kelompok memiliki logikanya sendiri, namun bukan berarti keduanya akan terus berlangsung polaritatif, keduanya dapat didialogkan dan disintesiskan, dan ini adalah tugas semua elemen. Ketiga; vox populi vox dei hanyalah mitos yang harus didekontruksi, suara rakyat bukan suara Tuhan melainkan suara rakyat adalah duit (vox populi vox duit), karena masing masing individu yang masuk di kolom parlemen adalah representasi partai, bukan representasi rakyat. Oleh karenanya, yang harus kita lakukan adalah merobek baju partai ketika sudah berada dalam gedung yang dibiayai oleh rakyat.

Namun begitulah, pada satu sisi kedudukan rakyat menempati posisi tertinggi, sedangkan pada sisi yang lain hanya menjadi permainan elit-elit minoritas. Demokrasi yang tampak disekeliling kita hanya hegemoni minoritas atas mayoritas, dan diskriminasi mayoritas atas minoritas. Oleh karenanya mantra dari Pram bahwa pendidikan masyarakat harus dengan pergerakan dan pendidikan penguasa harus dengan perlawanan, tampaknya harus direfleksikan bareng, karena kurang begitu manjur. Pendidikan pergerakan hari ini bukan untuk perlawanan, bukan untuk membebaskan, melainkan hanyalah tangga untuk sampai status quo. [] wallahu a’lam.

Muhammad Nur. Hata,

Penulis adalah mahasiswa UI, FIB, Susastra

Catatan : Terima kasih atas kiriman tulisan karya Anda. Tentang tulisan Anda yang berjudul "Sastra dan Kebenarannya..." telah dimuat di blog satimterus.blogspot.com

1 komentar:

Nurhata on 19 Februari 2016 pukul 18.53 mengatakan...

Lupa dengan tulisanku sendiri yang berasa aneh dibaca. Monggo Mas...itung-itung

silaturahim...http://elanglangitmendung.blogspot.co.id

Posting Komentar

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template