Rawan Penyimpangan
Kemdagri Diminta Transparan soal Anggaran NIK
JAKARTA - Proyek Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, yang anggarannya sebesar Rp 6,9 triliun, dinilai rawan penyimpangan. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dua kali menyurati Menteri Dalam Negeri agar berhati-hati dalam melaksanakan proyek tersebut.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi di Jakarta, Jumat (29/1), mengatakan, surat pertama dikirim KPK pada 6 November 2009 dan surat terakhir dikirim pada 8 Januari 2010. Kedua surat itu ditandatangani oleh Wakil Ketua KPK M Jasin.
Surat tersebut disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terkait kewenangan KPK untuk memonitor penyelenggaraan pemerintahan negara. Sejak 2006, KPK telah memantau implementasi nomor induk kependudukan (NIK) yang diterapkan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).
Dalam surat terakhir, KPK mengingatkan agar Depdagri memastikan penetapan desain besar Sistem Administrasi Kependudukan (SAK) sebelum melakukan berbagai kegiatan terkait Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), khususnya pengadaan. Tanpa adanya desain besar itu, dikhawatirkan terjadi kesalahan berulang sehingga memboroskan anggaran dan merugikan keuangan negara.
KPK juga meminta agar Mendagri menyampaikan laporan evaluasi pelaksanaan uji coba e-KTP di enam kecamatan. Pelaksanaan uji coba dengan menerbitkan KTP bercip seharusnya dilakukan setelah terlebih dulu dilakukan pembersihan database kependudukan dengan menggunakan rekaman elektronik berupa sidik jari sebagai alat verifikasi jati diri. Berdasarkan pantauan KPK, ditemukan ketidakefisienan dalam proses pelaksanaan uji coba, seperti pengambilan foto dan perekaman sidik jari yang dilakukan pada hari terpisah dengan rentang waktu 1-2 bulan.
Sesuai dengan data Kemdagri, uji coba e-KTP telah dilakukan di enam kecamatan pada empat kota dan dua kabupaten, yaitu Makassar, Padang, Denpasar, Yogyakarta, Cirebon, dan Jembrana.
Hitung ulang
Terkait anggaran, KPK meminta agar Kemdagri menghitung ulang kebutuhan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan prasyarat implementasi NIK tunggal sebelum e-KTP diterbitkan. Kemdagri juga diminta melakukan pembersihan database kependudukan melalui perekaman sidik jari semua penduduk Indonesia untuk mempermudah konsolidasi dan verifikasi data.
KPK juga meminta pekerjaan SIAK hanya boleh dilakukan setelah ada jaminan data kependudukan yang bersih atau tak terjadi duplikasi. Proyek ini sebaiknya memperhitungkan dengan cermat manfaat dan faktor risiko.
Secara terpisah, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw mengatakan, Kemdagri harus transparan dengan penggunaan anggaran NIK sebesar Rp 6,9 triliun. Dana sebesar itu dikhawatirkan bisa berpotensi korupsi.
”Supaya rakyat bisa menghitung secara rasional dan proporsional untuk apa saja anggaran sebesar itu. Saya melihat seolah-olah ada yang tidak beres. Kalau proyek itu dikerjakan sejak 2003, mengapa semakin lama kok anggarannya semakin besar,” kata Jeirry, Jumat.
Menurut dia, apabila diasumsikan anggaran NIK diadakan setiap tahun, pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Kemdagri semakin sedikit sehingga anggaran juga berkurang setiap tahun. Untuk itu, ujarnya, harus ada penjelasan dari Kemdagri supaya masyarakat tak bertanya-tanya. ”Kalau hasilnya hanya seperti DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) pada pemilu lalu yang banyak masalah, bisa dikatakan tidak ada hasil apa-apa dari anggaran miliaran rupiah sejak 2003,” ungkap Jeirry. (AIK/SIE) ***
Source : Kompas, Sabtu, 30 Januari 2010 | 02:52 WIB
0 komentar:
Posting Komentar