CARI BERKAH KLIK DI SINI

4 Maret 2010

Dimanakah Sekolah Bagi Anak Miskin ?

PENDIDIKAN

Sekolah bagi Anak Miskin

Oleh Saeful Millah

Semangat untuk bisa menyelenggarakan pendidikan egaliter yang sangat meniscayakan arti penting negara dalam memberi peluang yang sama bagi seluruh warganya, termasuk yang paling miskin, untuk bisa mengakses pendidikan tampaknya masih jauh di angan-angan.

Implikasinya, pendidikan yang diharapkan hadir sebagai sarana mobilitas sosial vertikal bagi kaum miskin menjadi sulit pula untuk diwujudkan. Bahkan pendidikan, meminjam tesis Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976), cenderung hanya berfungsi melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo-nya.

Itulah salah satu kesimpulan sekaligus kegelisahan saya setelah menelaah hasil penelitian Analisis Sharing Pembiayaan Pendidikan di Jawa Barat yang baru saja diterbitkan Tim Peneliti Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat (2010). Itu pula sisi analisis yang sayangnya luput dari kajian tim peneliti.

Sempitnya peluang

Dari hasil penelitian terungkap, meskipun pemerintah saat ini sudah berupaya membebaskan siswa dari segala bentuk iuran atau pungutan, paling tidak untuk pendidikan dasar sembilan tahun, untuk bisa menyekolahkan anaknya orangtua masih harus menanggung beban biaya personal, seperti biaya transportasi, yang jumlahnya sangat memberatkan orangtua siswa dari kalangan miskin.

Bahkan semakin tinggi mutu sekolah yang ingin diakses, semakin besar beban biaya personal yang mesti ditanggung orangtua siswa. Dalam konteks itulah peluang sekolah bagi anak miskin menjadi kian sempit, bahkan tertutup.

Persisnya, untuk bisa mengakses sekolah dengan kategori mutu rendah dalam penelitian ini, sebutlah sekolah yang umumnya ada di pinggiran, rata-rata per tahun setiap orangtua siswa harus menanggung biaya personal Rp 1,7 juta untuk tingkat SD, Rp 2,7 juta untuk tingkat SMP, dan Rp 1,4 juta untuk tingkat SMA.

Dilihat dari aspek pembiayaan, itulah satu-satunya kategori sekolah tempat kebanyakan anak dari keluarga miskin selama ini bisa menikmati pendidikan. Kenapa? Karena untuk bisa mengakses sekolah dengan kategori mutu di atasnya, sekolah dengan mutu sedang dalam penelitian ini, setiap orangtua ternyata harus merogoh kocek lebih dalam, yakni Rp 3.163.450 untuk tingkat SD, Rp 5.209.300 untuk tingkat SMP, dan Rp 4.518.733 untuk tingkat SMA. Bahkan, jika orangtua ingin menyekolahkan anaknya di sekolah dengan mutu tinggi, setiap tahun mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar, yakni Rp 11.788.000 untuk SD, Rp 8.930.000 untuk SMP, dan Rp 12.740.000 untuk tingkat SMA. Ini merupakan deretan angka rupiah yang sulit dipenuhi orangtua siswa dari kalangan miskin.

Itu pulalah strata sekolah yang hampir bisa dipastikan tidak akan banyak memberi, bahkan mungkin menutup sama sekali, peluang bagi anak dari keluarga miskin. Padahal, hanya melalui sekolah yang bermutu, bukan hanya asal sekolah, apalagi sekolah asal-asalan, kapabilitas mereka yang selama ini banyak terampas oleh berbagai bentuk ketidakadilan bisa dikembalikan, bahkan ditingkatkan.

Kalaupun ada sedikit peluang, melalui program beasiswa misalnya, umumnya peluang itu terbuka hanya bagi anak miskin pintar. Sementara anak miskin dengan kecerdasan pas-pasan, apalagi bodoh, harus rela tidak memiliki peluang sama sekali untuk bisa mengaksesnya. Di situlah arti penting keberpihakan pemerintah dalam memikirkan nasib pendidikan mereka.

Dua agenda pokok

Memang betul selama ini telah ada kebijakan terpuji pemerintah yang secara khusus digulirkan dalam rangka membantu meringankan beban pembiayaan pendidikan masyarakat miskin, salah satunya melalui program bantuan siswa miskin. Namun, pemerintah pun tidak bisa menutup mata kalau kuota yang disediakan masih jauh dari jumlah warga miskin yang membutuhkan.

Itu sebabnya, tindakan afirmatif yang dilakukan pemerintah dengan cara memperbanyak jumlah, jenis, dan cakupan program yang secara khusus ditujukan untuk memberi peluang yang sama bagi anak dari keluarga miskin agar bisa mengakses pendidikan setara dengan peluang anak dari kalangan mampu merupakan agenda penting pertama.

Bersamaan dengan itu, agenda kedua, kini saatnya pemerintah merintis model sekolah unggulan yang memungkinkan semua anak dari keluarga miskin bisa mengaksesnya. Di situlah kehadiran pakar pendidikan untuk menyumbangkan pemikirannya guna merumuskan model sekolah yang kedengarannya aneh dan nyeleneh ditantang dan diuji.

Saya bermimpi, di Provinsi Jawa Barat, tempat banyak pakar pendidikan hadir, kelak akan muncul model sekolah unggulan yang lahir bukan semata karena kemampuannya mengundang anak-anak pintar sekaligus kaya, persis umumnya sekolah unggulan saat ini, tetapi juga membuka seluas-luasnya peluang sekolah bagi seluruh warga, termasuk anak miskin sekaligus bodoh yang selama ini selalu terpinggirkan oleh berbagai bentuk ketidakadilan.

Tidak mudah memang. Sebab, untuk bisa memenuhinya, pemerintah harus banyak berkorban, di samping butuh keberanian. Namun ingat, mengabaikannya berarti membiarkan anak dari keluarga miskin yang merupakan bagian dari warga negara ini harus puas hanya mengenyam pendidikan di sekolah strata pinggiran dan karenanya akan tetap termarjinalkan.

Bahkan mengabaikannya seperti yang sedang berlangsung sekarang ini bisa berdampak lebih fatal karena berarti membiarkan sebagian lain yang sangat miskin harus rela tidak memiliki peluang sama sekali untuk bisa mengakses pendidikan. Memprihatinkan!

SAEFUL MILLAH,

Alumnus Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Tinggal di Cianjur

Source : Kompas, Kamis, 4 Maret 2010 | 14:39 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template