CARI BERKAH KLIK DI SINI

28 Agustus 2010

TEGUH MEINANDA : Pilkada Tanpa Biaya

Pilkada Tanpa Biaya

Oleh TEGUH MEINANDA

Ongkos politik untuk mengikuti pemilu kepala daerah, legislatif, apalagi presiden dipastikan sangat tinggi. Untuk terpilih sebagai calon bupati dan wakil bupati melalui kendaraan partai politik saja, paling tidak harus dikeluarkan dana Rp 1 miliar. Salah satu contoh, kandidat bupati dari Partai Demokrat dalam pilkada Kabupaten Bandung sekarang ini wajib menggelontorkan dana untuk partai Rp 1 miliar dan ini telah ia lakukan.

Hal itu tentu berlaku pula pada kandidat dari partai lain, termasuk calon independen atau perseorangan. Untuk memenuhi ketentuan verifikasi 3 persen dari jumlah pemilih berdasarkan undang-undang, calon independen harus mengeluarkan gizi yang tidak sedikit. Artinya, tidak bisa tidak ia harus mengeluarkan biaya untuk memfotokopi KTP penduduk sebagai bentuk dukungan. Itu belum termasuk biaya calo atau petugas yang langsung terjun ke masyarakat dalam mendapatakan KTP dimaksud.

Pengalaman penulis ketika menjadi tim sukses artis Primus Justisio pada waktu menjadi calon bupati Subang 2008 dari unsur independen, tidak kurang dari Rp 750.000.000 terpaksa dirogoh dari koceknya untuk mendapatkan KTP pendukung.

Setelah memperoleh kendaraan, sudah pasti biaya untuk kebutuhan sosialisasi dan kampanye sangat besar. Anggarannya bisa bermiliar-miliar. Perkiraan biaya yang harus dikeluarkan setiap kandidat untuk sosialisasi saja, sebelum masuk tahap kampanye, adalah lebih kurang Rp 3 miliar. Ini, misalnya, dialami pasangan Atori-Dadi dari Partai Demokrat yang sekarang tengah mengikuti pilkada Kabupaten Bandung 2010.

Biaya pilkada tersebut sepenuhnya ditanggung kandidat. Pembagiannya bisa 60 persen calon bupati berbanding 40 persen calon wakil bupati. Partai tidak berdaya alias lepas tangan. Tidak pernah ada cerita partai yang membiayai kandidat. Ini berlaku sejak Orde Baru dulu. Bahkan, partai yang selalu pasang harga untuk mereka yang ingin memperoleh kendaraan.

Oleh karena demikian, ongkos politik untuk menjadi pemimpin di pemerintahan tampaknya sangat besar. Hal itu tidak mungkin bagi mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sehebat apa pun untuk terpilih menjadi seorang calon pemimpin daerah atau pemimpin bangsa, tetapi tak punya duit.

Namun, jangan salah, di balik ketidakmungkinan itu ada satu-dua orang yang dibekali kecerdasan yang mampu membuat akal-akalan. Ada calon yang lolos tanpa mengeluarkan ongkos besar, tetapi bisa sukses mendapatkan kursi kekuasaan menjadi seorang bupati atau wakil bupati.

Eep Hidayat yang sekarang menjadi Bupati Subang adalah salah satu contohnya karena mampu mengolah keadaan dan mengakalinya sehingga bisa lolos menjadi calon dari PDI-P dan terpilih menjadi Bupati Subang tanpa harus mengeluarkan biaya besar.

Konon hal serupa dilakukan Yadi Srimulyadi pada waktu menjadi pendamping Obar Sobarna yang sekarang tengah memimpin pemerintahan di Kabupaten Bandung. Bahkan, Eep Hidayat yang saya kenal sejak jauh sebelum reformasi bergulir cukup dikenal sebagai pemuda "bersandal jepit". Begitu pula kabar burung menyebutkan, kondisi Yadi sebelum menjadi Wakil Bupati Bandung tak jauh dari Eep Hidayat.

Permainan politik

Dalam pilkada Kabupaten Bandung yang kini tengah digelar, ternyata dijumpai pula calon kandidat wakil bupati serupa dengan Eep dan Yadi yang dengan kecerdasannya mampu memerdayai partai dan pasangannya tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Kandidat dimaksud adalah calon wakil bupati Bandung dari Partai Demokrat, Dadi Gyardani Jiwapraja. Tanpa modal finansial yang besar, ia sukses menempatkan dirinya menjadi wakil dari Demokrat.

Apa yang dilakukan Dadi mungkin oleh satu pihak dianggap menebeng, merugikan, dan mengundang amarah banyak orang, termasuk pasangannya yang terpaksa harus mengeluarkan biaya besar untuk menanggulangi biaya pilkada.

Namun, di lain pihak, justru akal-akalan yang dilakukan Dadi merupakan salah satu bagian dari permainan politik. Orang akan menghargai dan salut terhadap karier seseorang yang punya kepintaran merekayasa situasi sehingga bisa lolos mewakili partai dan setelah lolos.

Apalagi, setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bandung, tidak ada orang yang bisa memberhentikannya karena terikat aturan dan undang-undang. Dari hitungan kasar, Dadi mengeluarkan biaya tidak lebih dari Rp 100.000.000, baik sebelum maupun saat kampanye sekarang ini. Dadi memang tidak sanggup memenuhi kewajiban 30 persen dari biaya keseluruhan karena memang tidak punya uang.

Hanya saja bagi Dadi dan juga pasti dirasakan Eep dan Yadi, karena tidak bermodal besar, terpaksa ada risiko yang harus ditanggung, yaitu terutama dalam menghadapi lingkungan tim sukses, orang-orang partai, dan yang menjadi pasangannya.

Ia pasti akan menerima cacian dan cemoohan dari orang-orang partai yang tadinya berharap mendapat fulus. Ia kemudian dimarahi, atau paling tidak dibaeudan, oleh pasangannya karena harus mengambil alih beban biaya keseluruhan, dan oleh lingkungan tim sukses yang sudah pasti banyak yang menyepelekannya.

Namun, semua itu bisa dimentahkan dengan mental kuat. Kandidat seperti ini bisa sambil lalu menjalaninya seperti menangkap angin yang berembus, atau sekadar masuk dari telinga kanan keluar dari telinga kiri.

Korupsi

Sekarang kita tengah terjebak dalam situasi lingkaran setan yang membuat situasi tidak kondusif. Korupsi merajalela karena salah satu penyebabnya adalah ongkos politik yang tinggi sehingga terdapat kecenderungan bagi pemimpin yang terpilih akan berusaha sekaligus berjuang menutup semua ongkos yang pernah dikeluarkannya. Adapun pendapatan yang resmi ia terima tidak sepadan, seperti gaji gubernur hanya sekitar Rp 8 juta dan gaji bupati sekitar Rp 6 jutaan.

Kita sudah sama-sama tahu ongkos politik menjadi besar karena kandidat harus mampu melicinkan jalan menembus berbagai barikade yang ada di lingkaran partai dan konstituennya. Pengorbanan harta dan benda tidak bisa lagi dielakkan karena mereka harus dibayar atau paling tidak kecipratan.

Partai-partai yang kini ada tidak pernah mampu menjatuhkan pilihan kepada seseorang yang punya kapasitas sebagai pemimpin tanpa harus menoleh kemampuan biayanya. Boleh dibilang tidak ada artinya perekrutan dan seleksi pemimpin binaan partai karena pada akhirnya fulus menjadi penentunya.

Dengan demikian, kita harus menghargai petualangan yang dilakukan Eep Hidayat, Yadi Srimulayadi, dan Dadi Gyardani Jiwapraja sebab mereka bertiga bisa bersaing dan dengan kecerdasannya mampu memerdayai banyak pihak termasuk partai. Orang-orang seperti ini niscaya tidak punya beban berat dalam menjalankan kekuasaannya karena tidak perlu berpikir bagaimana mencari dana pengganti bekas pencalonannya.

TEGUH MEINANDA,

Mantan Wartawan PR

Source : Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 | 19:00 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog List

JASA PENGIRIMAN UANG

Site Info

Followers/Pengikut

PENDOPO INDRAMAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template